KETIK, PALEMBANG – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Selatan resmi menetapkan enam orang tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas pinjaman/kredit dari salah satu bank milik negara kepada dua perusahaan perkebunan sawit, yakni PT BSS dan PT SAL.
Penetapan ini diumumkan langsung oleh Kepala Kejati Sumsel, Dr. I Ketut Sumedana dalam konferensi pers di Palembang, Senin 10 November 2025.
“Setelah melalui proses penyelidikan dan penyidikan serta pemeriksaan terhadap 107 saksi, tim penyidik menemukan alat bukti yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP,” ujar Ketut.
Enam orang yang ditetapkan sebagai tersangka yakni:
- WS, Direktur PT BSS (2016–sekarang) dan Direktur PT SAL (2011–sekarang);
- MS, Komisaris PT BSS (2016–2022);
- DO, Junior Analis Kredit Grup Analis Risiko Kredit Divisi Kantor Pusat Bank BRI (2013);
- ED, Account Officer/Relationship Manager Agribisnis BRI Pusat (2010–2012);
- ML, Junior Analis Kredit BRI (2013); dan
- RA, Relationship Manager Agribisnis BRI (2011–2019).
Dari enam tersangka, lima langsung ditahan di Rutan Kelas I Palembang dan Lapas Perempuan Merdeka Palembang untuk masa 20 hari ke depan.
Sementara WS belum ditahan karena mengaku tengah menjalani perawatan medis di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta.
“Untuk WS, tim penyidik sudah kami kirim untuk memastikan kebenaran alasan sakit tersebut. Statusnya tetap tersangka dan akan segera ditahan,” tegas Dr. Adhryansah, S.H., M.H., Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Sumsel.
Tim penyidik bidang tindak pidana khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan saat membawa para tersangka kasus dugaan korupsi fasilitas kredit PT BSS dan PT SAL menuju ruang pemeriksaan. Senin 10 November 2025 (Foto: M Nanda/Ketik.com)
Dari hasil penyidikan sementara, total kerugian negara ditaksir mencapai Rp1,689 triliun, setelah dikurangi hasil lelang aset senilai Rp506,15 miliar, maka kerugian bersih mencapai Rp1,183 triliun.
Modus dugaan korupsi ini berawal sejak tahun 2011, saat PT BSS mengajukan kredit investasi kebun inti dan plasma senilai Rp760,8 miliar kepada divisi agribisnis bank pelat merah di Jakarta. Dua tahun kemudian, PT SAL juga mengajukan kredit serupa senilai Rp677 miliar.
Namun dalam proses pengajuan hingga pencairan, ditemukan banyak penyimpangan — mulai dari pemalsuan data, analisis kredit yang tidak sesuai fakta, hingga agunan yang tak layak. Bahkan, sebagian proyek kebun yang dibiayai tidak pernah terealisasi.
Kedua perusahaan kemudian kembali memperoleh fasilitas tambahan kredit pembangunan pabrik kelapa sawit (PMKS) dan modal kerja dengan total plafon mencapai Rp1,7 triliun. Kini seluruh fasilitas pinjaman itu berstatus kolektibilitas 5 alias macet.
Yang lebih mencengangkan, berdasarkan penelusuran, aset PT SAL yang telah dilelang melalui KPKNL diduga dilepas dengan harga jauh di bawah nilai wajar.
Dalam pengumuman lelang di koran Sumatera Ekspres (3 Desember 2024), aset PT SAL bernilai Rp995 miliar dilepas hanya Rp530 miliar kepada PT Sejati Pangan Persada (SPP) yang beralamat di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.
Padahal, aset tersebut mencakup dua bidang tanah di Kabupaten Banyuasin seluas ribuan hektare dan 18 aset bernilai Rp85,7 miliar di kawasan Jalan Mayor Ruslan, Palembang.
Lelang itu kini digugat oleh PT SAL di Pengadilan Negeri Banyuasin dan masih bergulir hingga kini.
Ketut Sumedana memastikan bahwa penyidikan tidak berhenti sampai di sini. Pihaknya akan menelusuri aliran dana hasil kredit bermasalah serta mengusut kemungkinan keterlibatan pihak lain.
“Kami pastikan penyidikan akan terus berlanjut. Siapa pun yang terbukti menikmati hasil tindak pidana ini, pasti akan kami tindak tegas,” ujar Ketut.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 64 KUHP.(*)
