KETIK, SURABAYA – Upaya Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memerangi akun anonim maupun berita hoaks dengan menerapkan kebijakan satu orang satu akun media sosial (Medsos). Hal ini membuat Akademisi Pemerhati Kebijakan Media dan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Airlangga (Unair) Titik Puji Rahayu menyoroti bahwa kebijakan ini justru berpotensi besar memangkas penyebaran informasi positif.
“Hal lain yang juga menjadi poin kritik, kalau berpikir bahwa mengurangi akun akan mengurangi penyebaran hoaks itu seolah-olah cara berpikirnya bahwa satu akun hanya akan menyebarkan satu hoaks, padahal satu akun bisa menyebarkan ratusan ribuan hoaks. Jadi ini yang jadi unit analisisnya itu akunnya apa jumlah hoaksnya,” ucapnya, Jumat, 19 September 2025.
Titik menegaskan bahwa kebijakan ini belum menyentuh akar masalah. Ia menilai fakta yang terjadi menunjukkan bahwa persebaran hoaks atau informasi salah mayoritas disebabkan oleh bot bukan akun organik milik manusia.
“Jadi yang banyak menyebarkan hokas itu biasanya adalah bot, tapi kenapa yang dihukum justru manusia yang dia bukan merupakan bot atau automated social media in system. Jadi sebuah aplikasi yang dirancang untuk berperilaku di media sosial seolah-olah dia manusia padahal sebetulnya adalah software,” jelasnya.
Dirinya menyebutkan bahwa memiliki banyak akun pada saat ini adalah hal yang wajar dan umumnya memiliki tujuan spesifik. “Maka mereka punya suatu akun yang memang mereka tujukan untuk merepresentasikan citra profesional mereka. Di sisi lain mereka juga punya akun yang itu sifatnya untuk pertemanan, di mana mereka lebih lugas menyampaikan mereka siapa adanya,” paparnya.
Titik menawarkan sebuah solusi yang lebih fundamental. Menurutnya, masyarakat yang sejahtera dan teredukasi dinilai akan lebih kebal terhadap misinformasi dan tidak mudah menyebarkan hoaks. “Edukasi kepada masyarakat untuk mereka tidak sembarangan menyebarkan informasi jika mereka tidak memahami informasi,” terangnya.
Pada akhir, Titik mengajak pemerintah untuk lebih berpihak dan fokus kembali pada pengembangan industri digital nasional. “Saya rasa pemerintah lebih baik fokus membangkitkan industri media digital, sehingga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Benefitnya bukan hanya benefit politik dalam artian berpendapat, berdemokrasi, tapi juga ada benefit ekonomi, benefit sosio-kultural, ” pungkasnya. (*)