Jalur Liar yang Dirindukan, Ketika Warga Sanankulon Blitar Melawan Penutupan Rel

29 Oktober 2025 16:53 29 Okt 2025 16:53

Thumbnail Jalur Liar yang Dirindukan, Ketika Warga Sanankulon Blitar Melawan Penutupan Rel
Audiensi warga sanankulon, pihak PT KAI, Dinas Perhubungan Kabupaten Blitar, di balai Desa Sanankulon, Rabu 29 Oktober 2025. (Foto: Favan/Ketik.com)

KETIK, BLITAR – Di bawah terik siang yang mulai condong ke barat, sekelompok warga Desa Sanankulon berkumpul di halaman kantor desa. Suara mereka tak meninggi, tapi cukup untuk menggambarkan keresahan yang mengendap: akses jalan yang dulu memotong rel kini ditutup. Bagi mereka, jalur itu bukan sekadar lintasan kereta api liar melainkan urat nadi kecil penghubung aktivitas harian.

Namun bagi pemerintah, jalur itu adalah bahaya.

Beberapa pekan lalu, PT Kereta Api Indonesia (KAI) bersama Dinas Perhubungan Kabupaten Blitar menutup perlintasan tanpa izin di kawasan tersebut. Alasannya jelas: keselamatan. Berdasarkan aturan Kementerian Perhubungan, jarak antarperlintasan resmi minimal 800 meter. Sementara perlintasan di Sanankulon hanya berjarak beberapa ratus meter dari palang pintu resmi terdekat.

“Harapan masyarakat bisa dibuka kembali,” ujar Eko Triyono, Kepala Desa Sanankulon, Rabu 29 Oktober 2025.

Nada suaranya datar, seperti orang yang terjepit di antara logika keselamatan dan tekanan aspirasi warganya sendiri.

Eko paham betul, perlintasan itu ilegal. Tapi ia juga tahu, bagi sebagian warga, jalur itu lebih dari sekadar lintasan kereta itu adalah jalur hidup.

Setiap pagi, para petani melintas di situ dengan sepeda motor bermuatan hasil kebun. Anak-anak sekolah memotong jalur itu agar tidak terlambat. “Mereka merasa jalan memutar, meski tidak jauh, tetap merepotkan,” katanya.

Pemerintah desa, sambungnya, tak ingin gegabah. Eko berencana mengirimkan surat kepada Bupati Blitar untuk mengusulkan pembukaan kembali jalur itu, lengkap dengan pos penjaga resmi. “Kami akan mohonkan agar ada palang pintu. Supaya aman, tapi tetap bisa dilalui warga,” ujarnya.

Sementara itu, di sisi lain meja kebijakan, suara pemerintah terdengar tegas. Puguh Imam Susanto, Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Blitar, menegaskan penutupan dilakukan sesuai aturan dan sudah melalui prosedur panjang.

“Tidak serta merta ditutup,” katanya. “Kami sudah survei, menghitung jumlah kendaraan yang melintas, dan menilai tingkat risiko kecelakaan. Semua sudah dibahas bersama KAI dan kepolisian,” tambah Puguh.

Puguh tahu, keputusan ini tak populer. Tapi data dan pengalaman berbicara lain: sebagian besar kecelakaan kereta di Blitar terjadi di perlintasan liar. Tak ada palang, tak ada penjaga, dan sering kali, tak ada kesempatan kedua bagi pengendara yang nekat menyeberang.

“Keselamatan adalah yang utama,” ujarnya. “Kami paham, masyarakat ingin akses cepat, tapi nyawa lebih berharga,” tambahnya lagi.

Konflik kecil di Sanankulon ini menggambarkan ketegangan lama antara kebutuhan akses dan kepatuhan pada regulasi. Di banyak daerah, perlintasan liar menjadi jalan pintas ekonomi menghemat waktu, tenaga, dan bensin tapi juga menjadi jebakan maut yang saban tahun menelan korban.

Kini, di Blitar, pemerintah mencoba menertibkan. Tapi di lapangan, rasa kehilangan atas jalur lama masih begitu kuat. “Dulu lewat sini cuma sebentar, sekarang harus muter jauh,” keluh salah satu warga yang enggan disebut namanya. Ia masih tak yakin, mengapa jalan yang selama ini dianggap “biasa saja” tiba-tiba jadi berbahaya.

Begitulah nasib perlintasan liar di negeri ini: dibuka karena kebutuhan, ditutup karena peraturan, dan selalu dirindukan setelah tiada. (*)

Tombol Google News

Tags:

Sanankulon Pintu Perlintasan Kereta Api warga Blitar Kabupaten Blitar