KETIK, PACITAN – Rencana pengintegrasian Madrasah Diniyah (Madin) ke dalam sekolah formal jenjang SD hingga SMP segera dimulai.
Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Pacitan, Khemal Pandu Pratikna, menyampaikan bahwa tahap awal kebijakan tersebut akan diuji coba pada Januari 2026 mendatang.
Sebanyak 72 SMP negeri dan swasta di Pacitan dilibatkan bersama Madrasah Diniyah yang telah ada di wilayah setempat.
“Pilot project-nya jenjang SMP dulu, melibatkan 72 SMP negeri dan swasta yang akan diuji coba,” ujarnya, Selasa, 30 Desember 2025.
Melalui kebijakan integrasi ini, pembelajaran Madin nantinya bakal melebur ke dalam aktivitas sekolah formal.
Namun, pola pelaksanaannya bersifat fleksibel, bisa melalui penjadwalan khusus maupun pengaturan waktu yang disepakati bersama.
Selain penguatan pendidikan karakter, kebijakan ini juga dipandang sebagai jawaban atas keterbatasan tenaga pendidik agama Islam di sekolah.
Saat ini, rata-rata sekolah negeri di Pacitan hanya memiliki satu hingga dua guru Pendidikan Agama Islam (PAI).
“Dengan integrasi ini, guru agama-ustad yang ada di Madin bisa ikut mengajar di sekolah formal. Kami upayakan juga untuk skema anggarannya,” ungkapnya.
Saat ini, Dindik Pacitan masih berada pada tahap persiapan.
Sejumlah langkah telah dilakukan, mulai dari pendataan SMP dan Madin, pemetaan sumber daya guru PAI dan ustad, kolaborasi dengan Kementerian Agama, hingga penyederhanaan materi ajar Madin agar mudah diintegrasikan ke sekolah.
Rendahnya Minat Pendidikan Agama bagi Usia Remaja
Inovasi kebijakan ini berangkat dari rendahnya partisipasi siswa usia remaja dalam pendidikan agama.
Data Dindik Pacitan mencatat, dari total 14.987 anak usia SMP, hanya 1.414 siswa yang tercatat mengikuti pendidikan Madin Wustho.
Angka tersebut setara sekitar 9,43 persen dan belum menyentuh 10 persen dari keseluruhan.
Pandu menyebut kondisi tersebut sebagai potret minimnya partisipasi pendidikan keagamaan di kalangan remaja.
Padahal, Madin selama ini diposisikan sebagai lembaga penguatan pembelajaran agama yang melengkapi pendidikan formal di luar sekolah.
“Minimnya nilai keagamaan membuat anak-anak kita mudah terpengaruh pergaulan negatif,” katanya.
Ia menjelaskan, rendahnya keikutsertaan siswa SMP dalam Madin dipengaruhi sejumlah faktor, mulai dari perubahan pola hidup anak-anak yang semakin lekat dengan gawai dan internet, hingga dinamika pergaulan sosial yang sulit dihindari.
Meski begitu, Pandu menilai harapan masyarakat terhadap pendidikan berbasis keagamaan masih cukup tinggi.
Banyak orang tua menginginkan sekolah tidak hanya fokus pada capaian akademik, tetapi juga membekali siswa dengan nilai-nilai ubudiyah dan akhlak.
“Ada harapan dari masyarakat, di sekolah itu kalau bisa ada tambahan pembelajaran terkait keagamaan. Data yang ada ini kemudian kita jadikan dasar untuk menyusun kebijakan,” jelasnya.
Melalui perluasan akses pendidikan agama tersebut, Dindik Pacitan berharap siswa tak hanya memperoleh pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter yang lebih kuat dan berakhlak mulia.
Serta, sebagai upaya membentengi peserta didik dari kencangnya pengaruh pergaulan bebas.
“Secara pembelajaran Madin integrasi ini untuk mengenalkan Standar Kompetensi Ubudiyah dan Akhlak atau SKUA,” pungkasnya.(*)
