Negara boleh tidak bicara kepada rakyat asalkan setiap pagi ada makanan yang datang ke depan pintu rumah mereka. Seperti burung, boleh disangkarkan tapi harus diberi makan. Tapi jika makanan tidak tersedia maka berilah kebebasan. Agar ia terbang mencari karunia Tuhan.
Keadaan hari ini memang membuat semua mata tertuju pada layar yang berisi nuansa kemarahan, kekecewaan yang bahkan nampak seperti luapan dendam yang tersimpan begitu panjang. Bagiku, ini berangkat dari arogansi kekuasaan, bahwa memang beberapa orang belakangan ini menjelma bagai titisan Tuhan, dan mereka lupa sejatinya semua berangkat dari daulat rakyat.
Demonstrasi dimana-mana, hingga tuntutan yang ada menjelma bagai lahirnya genderang permusuhan. Peralihan isu begitu cepat, dan mirisnya semua sisi selalu ada ruang kecewa. Ini bahaya, dan kita tahu bahwa teori lama mengatakan parlemen jalanan lahir ketika ruang parlemen sepi dan menyumbatnya aspirasi rakyat. Hal-hal lain yang lahir bersamaan menjadi anarki dan tirani adalah tragedi dalam demokrasi. Ini adalah kegelapan yang memerlukan lentera. Ini hukum besi sejarah!
Sebenarnya, kita juga mengerti pada dasarnya Presiden, DPR sebagai official elected adalah pesuruh atau pelayan utama rakyat yang diberi fasilitas untuk memberi manfaat. Dan karna itu, mereka dalam hal ini harus bertanggung jawab penuh untuk segera menjawab dan menyelesaikan persoalan.
Tuntutan rakyat yang menggema hari ini nampak kasat mata meski kita tahu kelembutan hati rakyat Indonesia adalah kemudahan bagi pemimpin kita, itu semua ada batasnya. Seperti kata pepatah “Bak Api dalam Sekam”.
Memang menyedihkan, terlalu banyak kebijakan yang tidak dipersoalkan oleh 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah. Dan yang paling menyakitkan ialah, di situasi ekonomi yang sulit ini, ketidakpastian di semua level kebijakan justru dengan sadar mereka menampilkan nir - empati, seolah tidak peduli, dan gembira sambil berdansa. Dan jangan salahkan jika akhirnya rakyat ngomel sendiri, hingga dalam kesulitannya pun dibenturkan dengan Polisi. Sudah jatuh ditimpa tangga pula. Ini sangat tidak baik bagi iklim demokrasi kita.
Yang harus kita ingat, setiap sumbatan pada percakapan publik pasti akan melahirkan akumulasi perasaan tidak didengar yang pada akhirnya akan menjadi air bah massa aksi atau bahkan revolusi. Tidak mungkin rakyat gaduh kalau hidupnya normal, manusia begitu. Sejak lahir bayi sudah menangis, mencari susu!
Kini imbaun dari para tokoh bangsa, tak banyak lagi didengar. Seakan-akan kepercayaan sudah mulai luntur. Dan kau tahu, di antara sebab yang sangat menonjol adalah karena rasa tidak percaya kepada penguasa dan para elitnya; apabila penguasa mulai nampak tidak bisa dipercaya, hukum berat sebelah, membela kawan dan menekan lawan, tebang pilih dan pilih kasih.
Karena itu pula, sebagai negara hukum tentu aparat penegak hukumnya tidak boleh merasa bahwa sebagai alat dari negara dan kekuasaan maka mereka berdalih harus menang dengan segala cara dan bahwa rakyat dan para pencari keadilan adalah objek yang harus dilumpuhkan dengan segala cara. Ini tentu cara pandang yang salah. Ini pastinya mentalitas otoriter yang harus dikikis habis. Agar nyawa tak hilang begitu saja, kita tak boleh kembali ke masa suram yang pedih dan menakutkan.
Kejadian belakang hari cukuplah sebagai peringatan bahwa sejatinya ada hal yang harus kita kedepankan. Semua dari kita mesti berbenah, Karna energi harus disimpan untuk hal-hal baik dikemudian hari nantinya. Kita kembalilah, dan limpahkan hak marah kita ini pada yang mewakili, yang punya kebebasan dan segala fasilitas untuk itu.
Kawan-kawan, semua tentu adalah bagian dari pilihan, apapun dan bagaimanapun keadaannya. Namun, izinkan aku mendoakan dan berbuat dengan keterbatasan ikhtiar seperti yang lainnya. Pada intinya, yang kita semua lakukan hari ini adalah proses saling mengingatkan satu dengan yang lain, karena tak ada yang sempurna pada kita manusia. Itulah Demokrasi. (*)
*) Asrorudin adalah Ketua PC PMII Jombang
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)