KETIK, HALMAHERA SELATAN – Di bawah naungan langit cerah Desa Yomen, Kecamatan Kepulauan Joronga, Halmahera Selatan, waktu seolah melambat. Tak ada podium megah, tak pula kursi empuk berjejer rapi. Hanya ada tempat duduk sederhana, kopi panas, dan senyum-senyum penuh hormat dari para tetua desa yang menyambut Wakil Bupati Halmahera Selatan, Helmi Umar Muchsin.
Sore itu, Helmi duduk bersila, sejajar dengan para tokoh agama, adat, dan masyarakat Desa Yomen. “Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi,” bukan sekadar ungkapan, tapi benar-benar menjadi napas dari pertemuan itu. Tidak ada sekat. Tidak ada jenjang. Hanya ada adab, rasa hormat, dan keinginan untuk saling mendengar.
Helmi bukan hanya datang untuk menyampaikan sambutan atau menjalankan protokol kunjungan kerja. Ia hadir sebagai bagian dari masyarakat. Sebagai putra Bajo yang dikenal humanis, Helmi memilih cara paling sederhana dan penuh makna berbagi cerita.
Helmi menaiki mobil pick up menuju Desa Kurunga (Foto: Gadri Buamona For Ketik)
Pertemuan itu menjadi ruang berbagi keresahan. Tokoh-tokoh Yomen mencurahkan harapan dan kegelisahan tentang pelayanan dasar yang belum maksimal, tentang pembangunan yang masih menjanjikan masa depan, dan tentang kehidupan para nelayan di wilayah terluar. Mereka bercerita lepas, seolah berbicara dengan seorang sahabat lama.
Helmi mendengar dengan penuh empati. Sesekali ia tersenyum tipis, sesekali tertawa lepas ketika cerita beralih pada kenangan masa lalu tentang keramahan warga saat gempa mengguncang desa, atau kisah lucu yang dulu pernah terjadi di tengah kepanikan. Suasana menjadi hangat, nyaris kekeluargaan.
Di sekeliling mereka, anak-anak kecil berlarian. Tak ada yang mengusik jalannya cerita. Justru tawa mereka seperti ikut memberi irama pada pertemuan itu bahwa di tengah keseriusan membicarakan masa depan, masih ada ruang untuk bahagia bersama.
Satu hal yang menjadi benang merah dari pertemuan tersebut adalah kehadiran Helmi yang tak ingin hanya dikenal lewat pidato. Ia ingin dikenang karena kemauannya untuk hadir, menyapa, mendengar, dan mencintai. Bahkan setelah menyampaikan rencana besar tentang strategi pembangunan agromaritim bersama Bupati Bassam Kasuba, Helmi tidak memaksa pesan itu hadir dalam kalimat-kalimat formal. Ia mengemasnya dalam obrolan ringan, dalam cerita, dalam silaturahmi yang tak mengenal batas suku, agama, atau warna politik.
“Saya percaya, sebelum kita membangun jalan dan jembatan, kita harus membangun perasaan. Harus hadir dulu di hati masyarakat,” ucap Helmi, sembari meneguk kopi hangat pemberian warga Sabtu sore 2 Agustus 2025.
Pertemuan itu berlangsung lebih dari satu jam. Namun ketika langit mulai berubah warna, Helmi pun harus beranjak. Bersama sang istri tercinta, Mardiana Bopeng, ia melanjutkan perjalanan menuju Desa Kurunga.
Uniknya, bukan dengan mobil dinas, tapi dengan sebuah mobil pick up terbuka. Ia berdiri di atas bak kendaraan itu, melambaikan tangan ke warga, menyapa dengan tulus, melanjutkan kisah cintanya dengan rakyat yang tak pernah lelah ia rawat.
Yomen menjadi saksi bahwa seorang pejabat bisa memilih untuk menjadi manusia biasa. Bahwa kebijakan tak harus selalu diumumkan di depan mikrofon, tapi bisa dimulai dari tempat duduk sederhana, di antara cangkir kopi, dan tawa-tawa yang membumi. Dan Helmi Umar Muchsin, dalam kunjungannya itu, tak hanya membawa program, ia membawa harapan.