KETIK, SURABAYA – Antrean kendaraan parah terjadi di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Kemacetan ini disebabkan oleh minimnya kapal penyeberangan tujuan Bali.
Dari 15 kapal yang semula aktif di lintasan Ketapang-Gilimanuk, kini hanya enam kapal yang diizinkan beroperasi menyusul evaluasi keselamatan ketat dari otoritas pelayaran pascakecelakaan laut.
Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Jawa Timur, Nyono, menjelaskan bahwa pengelolaan Pelabuhan Ketapang sepenuhnya berada di bawah PT ASDP Indonesia Ferry Cabang Ketapang.
"Otoritas keselamatan dan izin operasional kapal berada di bawah kewenangan Syahbandar Tanjungwangi dan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan," jelas Nyono, Minggu, 27 Juli 2025.
Nyono menambahkan, status penyeberangan Ketapang–Gilimanuk sebagai lintas antardaerah provinsi menjadikan seluruh urusan operasional dan teknis berada di bawah pemerintah pusat. Meski demikian, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur tidak tinggal diam.
"Pemerintah Provinsi Jawa Timur tetap mengambil langkah aktif karena wilayah terdampak adalah Banyuwangi, bagian dari Jawa Timur," tuturnya.
Kepala Dinas Perhubungan Jawa Timur, Nyono saat diwawancara, Sabtu, 29 Maret 2025. (Foto: Khaesar/Ketik)
Menyikapi kondisi ini, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa telah mengirimkan surat resmi kepada Menteri Perhubungan RI. Surat tersebut berisi permintaan penambahan kapal berkapasitas besar untuk mengurai antrean di Pelabuhan Ketapang.
"Surat dari Ibu Gubernur kepada Menteri Perhubungan meminta adanya tambahan kapal berkapasitas besar yang mampu melayani dermaga LCM (Landing Craft Machine) di Pelabuhan Ketapang," ungkap Nyono.
Surat yang ditandatangani Gubernur Khofifah pada Sabtu, 26 Juli 2025 malam di Ponorogo itu akan dikirim secara resmi pada Senin, 28 Juli 2025.
“Surat resminya baru akan kami kirim Senin, tapi kami juga sudah kirim melalui Whatsapp,” imbuhnya.
Akibat evaluasi keselamatan, kapasitas angkut kapal berkurang drastis. Kapal yang semula bisa membawa 20 kendaraan, kini hanya diizinkan mengangkut lima unit, terutama untuk truk bersumbu lebih dari tiga dan panjang hingga 12 meter, menyusul penyesuaian beban dan panjang kendaraan.
"Bayangkan, dari 15 kapal menjadi hanya enam yang beroperasi, dan dari kapasitas 20 kendaraan per kapal kini tinggal seperempatnya. Ini jelas menyebabkan antrean panjang," ujarnya.
Selain itu, Pemprov Jawa Timur juga mendorong pengaktifan pelabuhan alternatif, seperti Pelabuhan Jangkar di Situbondo. Tujuannya agar dapat membantu menampung beban penyeberangan yang kini terpusat di Ketapang. Namun, pengaktifan ini juga membutuhkan keputusan dari pemerintah pusat.
“Kami tahu ini bukan kewenangan kami, tapi kami tidak tinggal diam. Ini menyangkut arus logistik dan mobilitas warga Jawa Timur. Jadi, kami harus bersuara dan mendorong agar solusi segera hadir,” tegas Nyono.
Dishub Jatim mengaku telah menghubungi langsung Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dan Balai Pengelola Transportasi Darat Wilayah XI Jawa Timur-Bali untuk meminta percepatan respons atas surat Gubernur.
“Kami sudah komunikasikan secara intens, surat sudah dikirim, dan kami terus mendorong agar segera ada penambahan kapal,” tambahnya.
Antrean panjang di Pelabuhan Ketapang bukan hanya soal waktu dan kenyamanan, melainkan juga berpotensi mengganggu stabilitas logistik. Jalur penyeberangan ini merupakan urat nadi penghubung logistik antara Pulau Jawa dan Bali. Tersendatnya arus barang dapat berdampak luas terhadap stabilitas harga dan pasokan di dua provinsi.
Pengemudi truk, seperti Slamet, mengaku sudah antre sejak dua hari lalu. “Saya dari Pasuruan bawa sayur untuk Bali. Tapi sampai sekarang belum bisa nyeberang. Sayur bisa rusak kalau terlalu lama,” keluhnya.
Dengan tekanan dari daerah dan dorongan dari berbagai pihak, publik kini menantikan langkah cepat dari pemerintah pusat dalam mengatasi hambatan vital di jalur penyeberangan strategis ini. Harapannya, antrean di Ketapang segera terurai dan aktivitas penyeberangan kembali normal, tanpa mengesampingkan aspek keselamatan pelayaran.(*)