KETIK, SURABAYA – Demonstrasi tak lagi identik dengan orasi lantang dan spanduk besar. Generasi Z (Gen Z) menghadirkan wajah baru gerakan sosial: kreatif, satir, dan viral.
Poster-poster jenaka dengan kalimat menyentil, meme yang cepat menyebar di media sosial, hingga video singkat yang memancing diskusi menjadi ciri khas demonstrasi era digital.
Fenomena ini, menurut Dr Aribowo Drs MS, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, menunjukkan bahwa Gen Z tak hanya turun ke jalan untuk protes, tapi juga merancang pesan mereka agar lebih mudah diterima publik.
“Sejak zaman Hindia Belanda, yang melawan pemerintah ya generasi muda. Posisi sosial mereka membuat mereka lebih peka terhadap ketidakadilan. Sekarang, mereka menyalurkan kepekaan itu dengan cara yang kreatif,” jelas Aribowo.
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga Dr Aribowo Drs MS. (Foto: Humas Unair)
Seni sebagai Senjata Perlawanan
Aribowo menjelaskan bahwa kreativitas dalam gerakan sosial bukan fenomena baru. Sejak 1950-an, konsep happening art berkembang sebagai bentuk perlawanan, di mana seni rupa, teater, hingga sastra menjadi medium kritik sosial.
Menjelang Reformasi 1998, ekspresi seni bahkan menjadi pengobar semangat perlawanan mahasiswa.
“Happening art mengangkat realitas masyarakat dan menjadikannya bagian dari perlawanan. Kini bentuknya semakin beragam, termasuk visual digital dan meme,” tambahnya.
Media Sosial Jadi Medan Aksi
Bedanya dengan masa lalu, Gen Z kini punya senjata baru: media sosial. TikTok, Instagram, hingga X (Twitter) menjadi ruang perlawanan yang efektif. Pesan-pesan kritis dibungkus ringan, menghibur, dan mudah dibagikan.
“Media sosial menjadi instrumen penting untuk membicarakan keresahan, ketimpangan, dan ketidakadilan, baik di Indonesia maupun global,” jelas Aribowo.
“Di situ pula perlawanan terhadap pejabat, pemerintah, hingga negara dirumuskan.”
Kendati terlihat santai dan penuh humor, demonstrasi Gen Z bukan aksi main-main. Mereka tetap serius menyiapkan strategi, mulai dari penyusunan siaran pers, membangun jejaring komunikasi, hingga advokasi hukum.
Format aksi yang cair justru membuat mereka lebih adaptif. Isu yang diangkat pun lebih beragam—mulai dari iklim, hak digital, hingga kebijakan pendidikan—dan disampaikan dengan bahasa yang relatable bagi masyarakat luas.
Namun kreativitas saja tidak cukup untuk melahirkan gerakan besar. Aribowo menegaskan bahwa aksi demonstrasi selalu muncul karena ada masalah nyata yang dirasakan masyarakat.
“Gerakan sosial tidak pernah tumbuh dalam ruang kosong. Deprivasi, ketidakadilan, dan kesenjangan yang tampak di masyarakat menjadi pemicu utama lahirnya perlawanan,” pungkasnya.(*)