KETIK, TULUNGAGUNG – Di tengah suksesnya penyelenggaraan Festival Langen Beksan Tulungagung yang digelar pada 10 November 2025 di GOR Lembu Peteng, terselip sebuah ironi yang tak bisa ditutup dengan senyum tari.
Lima penyaji terbaik non-ranking dijanjikan dari salah satu anggota DPRD Provinsi Jawa Timur yang hadir di acara tersebut, hadiah berupa seperangkat gamelan.
Dalam pendengaran yang kami tangkap saat itu, tidak hanya lima itu saja melainkan semua group Sanggar seni, sebanyak duabelas group yang terdaftar mengikuti Festival Langen Beksan. Namun, janji itu ternyata bukan hadiah, melainkan harapan yang masih harus ditulis ulang dalam bentuk proposal.
Festival yang semestinya menjadi panggung penghormatan bagi para seniman tradisi justru menyisakan tanda tanya besar: apakah penghargaan budaya kini harus dibayar dengan birokrasi?
Hadiah atau Harapan ?
Ketentuan festival telah ditegaskan:
- Gending wajib bertema “Tulungagung Kota Pariwisata – Tulungagung Kondang”
- Peserta membawa surat keterangan dari desa dan fotokopi KTP
- Pendaftaran ditutup 8 November 2025
- Jumlah peserta 20 orang (10 pasangan pria dan wanita)
- Peserta wajib menyertakan nomor induk organisasi yang aktif minimal satu tahun
Namun, investigasi dari media menemukan bahwa para pemenang justru diminta mengajukan proposal untuk mendapatkan hadiah gamelan yang baru akan direalisasikan tahun 2026.
Prosedur yang mengaburkan makna “penghargaan langsung”.
Kondisi ini menimbulkan reaksi dari pegian seni budaya di Tulungagung. Totok Cakra, tokoh budaya yang dikenal vokal, angkat bicara. Ia meminta agar birokrasi bekerja dengan sungguh-sungguh.
“Jangan sampai bupati terjebak ABS—asal bapak senang. Sebagai pemimpin, ia harus turun langsung melihat realisasi anggaran di lapangan,” tegasnya.
Totok menambahkan bahwa hadiah seharusnya sudah tersedia, bukan menjadi janji yang ditunda dan dibungkus dalam proposal. Menurutnya, penghargaan seni bukanlah proyek pembangunan, melainkan pengakuan atas jiwa dan dedikasi.
Refleksi Tajam: Budaya yang Diperumit
Dalam semangat Suwandi LSM Badak, kita bertanya: apakah birokrasi telah menjadi selimut bagi ketulusan? Apakah penghargaan kini harus melewati lorong-lorong administrasi yang dingin dan tak berjiwa?
Festival Langen Beksan seharusnya menjadi ruang sakral bagi para penari untuk mengekspresikan cinta pada budaya. Namun ketika hadiah berubah menjadi janji yang harus diperjuangkan kembali, kita patut merenung: apakah kita sedang merayakan budaya, atau sekadar memamerkan kemasan?
Suwandi menambahkan bahwa, kalau hadiahnya hanya sekedar disuruh mengajukan proposal hibah gamelan seharusnya di terangkan pada pengumuman pendaftaran, apalagi mengatasnamakan HUT Tulungagung. Kalau hanya pengajuan proposal hibah saja semua kelompok masyarakat boleh mengajukan, dan ini suatu pembodohan publik", Suwandi sambil menikmati secangkir kopi.
Sementara itu, PLT Kepala Dinas kebudayaan dan pariwisata belum bisa dikonfirmasi hingga berita ini di tayangkan ke publik.
