KETIK, SAMPANG – Ketegangan di Kabupaten Sampang tampaknya belum mereda setelah aksi unjuk rasa menuntut kejelasan pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak pada Selasa, 28 Oktober 2025 lalu. Aksi itu kemudian berujung pada penangkapan tiga warga oleh Polres Sampang, Jawa Timur.
Langkah aparat itu justru menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk organisasi mahasiswa yang menilai tindakan kepolisian berlebihan dan mencederai prinsip demokrasi.
Aksi yang digelar oleh Forum Aktivis Madura (FAM) dan Aliansi Masyarakat Desa Bersatu di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sampang awalnya berlangsung damai. Massa hanya menuntut kepastian jadwal dan transparansi penyelenggaraan Pilkades yang dinilai mandek. Namun, situasi berubah ricuh setelah polisi menembakkan gas air mata dan memblokade massa yang hendak menyampaikan aspirasi ke gedung dewan.
Kepolisian kemudian menetapkan tiga orang sebagai terduga pelaku pengrusakan fasilitas umum di sekitar Alun-Alun Trunojoyo dan kawasan Kantor DPRD Sampang. Penangkapan itu memantik gelombang kecaman dari organisasi mahasiswa.
"Kami, DPC GMNI Kabupaten Sampang, mengecam keras tindakan Polres Sampang terhadap penangkapan masyarakat hanya karena ikut serta dalam aksi demonstrasi yang bertujuan menyampaikan pendapat," kata Bung Shaifi, Ketua DPC GMNI Sampang, melalui keterangan tertulisnya, Kamis, 6 November 2025.
Menurut Bung Shaifi, aksi demonstrasi merupakan hak konstitusional setiap warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
"Hak tersebut harus dijamin dan dilindungi selama dilakukan secara damai, bertanggung jawab, dan tidak melanggar hukum," ujarnya.
Bung Asbul sekretaris DPC GMNI Sampang (Foto: Mat Jusi/Ketik.com).
Nada serupa disampaikan Bung Asbul, Sekretaris DPC GMNI Sampang. Ia menilai kericuhan yang berujung pada pengerusakan justru dipicu oleh tindakan aparat.
"Penyebab utama kerusakan fasilitas umum adalah sikap spontanitas massa setelah polisi menembakkan gas air mata dan memblokade barisan aksi yang awalnya damai dan kondusif," katanya.
Ia mendesak Polres Sampang melakukan evaluasi internal.
"Kerusakan itu terjadi karena ulah mereka sendiri. Dan kami meminta Polda Jawa Timur turun tangan menyikapi tindakan represif aparat dan penangkapan terhadap massa aksi," ujar Bung Asbul dengan tegas kepada media ini.
DPC GMNI Sampang juga mendorong aparat penegak hukum untuk mengedepankan pendekatan dialogis dan persuasif.
"Demonstrasi adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Jangan sampai kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi justru dikriminalisasi oleh aparat," tukasnya. (*)
