KETIK, BLITAR – Sebuah insiden mengguncang kepercayaan publik terhadap pengelolaan Dana Desa di Kabupaten Blitar. Damar Waterpark, destinasi wisata desa yang berdiri di Desa Umbuldamar, Kecamatan Binangun, kini berubah menjadi simbol kemunduran.
Dinding penyangga di area objek wisata tersebut dilaporkan ambruk, menyisakan kerusakan serius dan membuka kembali perdebatan soal kualitas pembangunan yang dibiayai dari uang rakyat, Kamis 20 November 2025.
Bangunan yang dulu digadang-gadang sebagai ikon desa itu kini tampak tak terurus. Rumput liar menguasai area, fasilitas mulai lapuk, dan ambruknya struktur penyangga membuat kondisi waterpark tersebut semakin memprihatinkan.
Sekretaris Desa Umbuldamar, Maruwan, menjelaskan bahwa pembangunan Damar Waterpark dilakukan dalam dua tahap menggunakan Dana Desa tahun anggaran 2018 dan 2019.
“Pembangunan ini dilakukan secara multiyears. Dananya dari DD 2018 dan 2019,” jelas Maruwan.
Namun, harapan bahwa proyek tersebut dapat menjadi sumber Pendapatan Asli Desa (PADes) justru menjauh. Fasilitas yang baru berusia beberapa tahun sudah mengalami kerusakan struktural, memicu kemarahan warga.
Seorang warga yang enggan disebut namanya menyuarakan kekecewaan keras.
“Uang desa itu harusnya jadi manfaat, bukan monumen kegagalan. Bangunan yang belum lama berdiri tapi sudah ambruk begitu saja jelas menunjukkan ada masalah mutu,” ujarnya.
Kecurigaan publik tak muncul tanpa alasan. Proyek pembangunan Damar Waterpark berlangsung di masa pemerintahan kepala desa sebelumnya, sosok yang kemudian divonis bersalah dalam kasus korupsi Dana Desa.
“Bagaimana warga tidak curiga? Kades yang memimpin awal proyeknya terjerat korupsi DD, lalu bangunan yang dikerjakan di masa itu sekarang ambruk,” kata seorang aktivis desa.
“Ini bukan sekadar kerusakan fisik, tapi juga kerusakan budaya tata kelola,” tambahnya.
Jejak hukum masa lalu itu kini kembali mencuat, menyoroti minimnya transparansi dan lemahnya pengawasan di tingkat desa.
Menanggapi kerusakan dinding penyangga, Sekretaris Desa Maruwan menegaskan bahwa penyebabnya adalah murni bencana alam.
“Ambruknya dinding itu karena tanah longsor. Bukan karena kualitasnya jelek,” ujarnya.
Namun pernyataan itu tidak berjalan mulus di telinga masyarakat maupun pemerhati konstruksi. Jika kawasan tersebut memang rawan longsor, pertanyaannya, mengapa tidak ada perencanaan teknis yang memadai sejak awal.
Seorang pengamat konstruksi lokal menilai dalih longsor sebagai alasan yang terlalu sederhana.
“Kalau memang rawan, semestinya sejak awal dibuat struktur penahan yang sesuai standar dan jauh lebih kuat. Ketika alasan bencana alam dipakai berulang, biasanya itu penanda ada sesuatu yang ingin ditutup,” tuturnya.
Ambruknya dinding penyangga ini menjadi catatan serius bagi Pemkab Blitar dan instansi pengawasan. Warga menuntut agar audit mendalam dilakukan terhadap penggunaan Dana Desa tahun 2018 dan 2019 untuk proyek waterpark tersebut.
“Jangan-jangan bukan longsor yang membuat uang rakyat hilang, tapi korupsi,” ujar seorang tokoh masyarakat.
Investigasi independen dianggap penting untuk memastikan apakah kerusakan itu benar disebabkan faktor alam, atau justru buah dari pengerjaan yang tidak sesuai spesifikasi, mark-up anggaran, atau praktik curang lain yang telah lama menjadi keluhan publik. (*)
