KETIK, JAKARTA – Coming-of-age adalah salah satu genre yang popularitasnya tidak pernah padam hingga sekarang.
Genre ini menunjukkan bagaimana cara sebuah karakter menghadapi masalah psikologis dan moral protagonis dari masa anak-anak ke dewasa yang seringkali ditandai dengan kehilangan kepolosan, penemuan diri, cinta atau patah hati pertama dan penerimaan realitas hidup yang lebih kompleks.
Genre coming-of-age (atau Bildungsroman) berakar kuat dalam sastra Jerman abad ke-18 (dengan karya seperti Wilhelm Meister's Apprenticeship) kemudian berkembang luas dalam film Eropa sejak 1950-an hingga Hollywood modern dengan contoh klasik seperti film The Breakfast Club (1985) dan Lady Bird (2017).
Tak hanya dalam industri perfilman, genre ini juga melebar luas ke dunia literatur luar maupun dalam negeri. Contoh literatur populer yang mengangkat genre tersebut adalah Anne of Green Gables – L. M. Montgomery (1908) yang bercerita tentang pertumbuhan emosional dan intelektual Anne Shirley, Laskar Pelangi – Andrea Hirata (2005) yang menceritakan tentang perjalanan pendidikan dan mimpi anak-anak Belitong dan Amba – Laksmi Pamuntjak (2012) yang bercerita tentang coming-of-age perempuan dalam konteks cinta, sejarah, dan pencarian identitas.
Genre ini pun terus berkembang, coming-of-age dulu lebih berfokus kepada transisi dari anak anak ke dewasa namun sekarang banyak juga genre coming-of-age yang membahas tentang identitas keluarga, trauma, dan persahabatan.
Salah satu alasan genre ini dapat bertahan adalah karena kisah tentang proses bertumbuh selalu relevan bagi setiap generasi. Penonton juga cenderung merasakan kedekatan emosional dengan karakter-karakternya, sebab pengalaman menjadi dewasa merupakan proses universal yang dialami semua orang.
Beberapa pakar film menyebutkan bahwa penonton kerap melihat sebagian diri mereka dalam tokoh-tokohnya. “Bahkan ketika alurnya sederhana, emosi yang dihadirkan tetap kuat dan relevan lintas usia.”
Meskipun banyak diminati, genre ini kerap dinilai memiliki alur yang klise dan karakterisasi yang repetitif. Namun, beberapa tahun terakhir, karya-karya coming-of-age menunjukkan banyak perubahan menjadi lebih realistis, lebih inklusif, dan lebih berani mengangkat isu sosial ringan.
Selama manusia terus mengalami proses bertumbuh, cerita coming-of-age akan selalu menemukan tempatnya menjadi cermin bagi perjalanan hidup setiap generasi. (*)
