Cacat Logika Ekonomi di Balik Serangan Cak Imin terhadap Indomaret dan Alfamart

29 Oktober 2025 19:58 29 Okt 2025 19:58

Thumbnail Cacat Logika Ekonomi di Balik Serangan Cak Imin terhadap Indomaret dan Alfamart
Oleh: Muhammad Sirod*

Rencana pembatasan jaringan ritel modern seperti Indomaret dan Alfamart yang disampaikan Muhaimin Iskandar perlu dibaca secara hati-hati. Argumen bahwa dominasi dua jaringan ini menekan toko kecil hanya melihat permukaan. Secara industri, kebijakan seperti itu justru berpotensi mengganggu rantai pasok nasional yang menjadi tulang punggung sektor makanan, minuman, dan barang konsumsi cepat (Fast-Moving Consumer Goods/FMCG), yang kini menopang jutaan pelaku usaha di seluruh daerah.

Industri FMCG berperan sebagai penggerak utama ekonomi domestik. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan nilai output industri ini mencapai lebih dari Rp600 triliun per tahun, dengan serapan tenaga kerja langsung di atas empat juta orang. Distribusi yang efisien menentukan stabilitas harga dan kontinuitas suplai. Ritel modern menjalankan fungsi ini melalui sistem logistik yang mampu menyalurkan produk lokal ke pasar nasional dengan standar mutu dan kecepatan yang konsisten.

Indomaret dan Alfamart mengoperasikan lebih dari 80 pusat distribusi di seluruh Indonesia dengan sistem rantai pasok berbasis data. Infrastruktur ini memotong biaya distribusi antara 15 hingga 20 persen dibandingkan jalur konvensional. Jika ekspansi jaringan ini dibatasi secara politis, dampaknya akan langsung terasa pada daya serap terhadap produk-produk industri makanan dan minuman, terutama dari UMKM yang bergantung pada kanal modern trade untuk menjaga volume penjualan dan arus kas.

Dari sisi pemerataan ekonomi, data NielsenIQ 2024 menunjukkan 37 persen produk yang dijual di minimarket nasional merupakan produk lokal skala kecil dan menengah. Ritel modern telah menjadi saluran pemasaran paling efisien bagi pelaku UMKM yang telah memiliki kapasitas produksi stabil. Pembatasan ekspansi tanpa menyiapkan kanal distribusi alternatif akan mempersempit akses pasar bagi produsen kecil yang justru sedang berkembang melalui kemitraan dengan jaringan modern.

Program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP) yang saat ini dijalankan pemerintah menargetkan pembentukan koperasi di lebih dari 80.000 desa dan kelurahan. Berdasarkan laporan resmi Kementerian Koperasi dan UKM, hingga pertengahan 2025 telah terbentuk lebih dari 81.000 unit koperasi desa dengan tahapan digitalisasi dan integrasi logistik berbasis platform nasional. Program ini tidak dapat berjalan efektif tanpa konektivitas dengan jaringan ritel modern yang memiliki infrastruktur distribusi dan pasar siap serap.

Desain Kopdes Merah Putih menempatkan koperasi desa sebagai simpul logistik dan produksi bahan pangan, hasil pertanian, dan produk olahan lokal yang disuplai ke rantai distribusi nasional. Model ini bergantung pada kolaborasi dengan kanal ritel yang mampu menyalurkan produk koperasi secara terukur. Mengabaikan peran ritel modern dalam sistem ini adalah kekeliruan logistik dan ekonomi. Pernyataan politik yang mendorong pembatasan justru berisiko menghambat akses produk koperasi ke pasar nasional dan menurunkan efisiensi rantai pasok yang sedang dibangun pemerintah.

Kementerian Koperasi dan UKM mencatat jumlah koperasi aktif nasional pada 2024 mencapai 131.617 unit. Kontribusi sektor koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada di kisaran 5,1 hingga 5,5 persen, dengan target peningkatan menuju 10 persen dalam lima tahun ke depan melalui perluasan akses pasar dan digitalisasi. Pembatasan jaringan distribusi ritel modern akan menutup ruang peningkatan kontribusi ini dan melemahkan proses integrasi ekonomi desa yang menjadi fokus utama pemerintah.

Ritel modern di Indonesia tidak sepenuhnya dimiliki korporasi besar. Sekitar 60 persen gerai Alfamart dan 45 persen gerai Indomaret dioperasikan oleh mitra waralaba lokal, termasuk koperasi daerah. Setiap gerai menciptakan antara delapan hingga dua belas lapangan kerja baru dan menstimulasi aktivitas ekonomi mikro di sekitarnya. Menghentikan ekspansi mereka berarti mengurangi kesempatan investasi masyarakat lokal dan menekan sumber pertumbuhan ekonomi ritel daerah.

Dari sisi industri makanan dan minuman, saluran modern trade menyumbang 65 persen pertumbuhan penjualan FMCG nasional dalam lima tahun terakhir. Sektor ini bukan pesaing pasar rakyat, melainkan pendorong volume produksi industri nasional yang memastikan stabilitas harga dan pasokan. Mengubah arah kebijakan tanpa memahami struktur distribusi akan berdampak langsung pada inflasi pangan dan kinerja industri pengolahan domestik.

Kebijakan ekonomi nasional harus berbasis data, bukan sentimen. Tantangan Indonesia bukan pada banyaknya jaringan ritel modern, melainkan pada ketimpangan kapasitas produksi dan infrastruktur logistik antarwilayah. Koperasi desa dan jaringan ritel modern memiliki fungsi saling melengkapi dalam ekosistem distribusi pangan nasional. 

Pandangan yang menolak integrasi ini menunjukkan pendekatan reaktif tanpa basis analisis industri. Arah kebijakan yang produktif justru memperkuat sinergi antara koperasi dan ritel modern agar ekonomi rakyat tumbuh dalam sistem distribusi yang efisien, transparan, dan terukur.

*) Muhammad Sirod merupakan Ketum HIPPI Jakarta Timur, Fungsionaris Kadin Indonesia

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Alfamart Indomaret cak imin Muhammad Sirod