KETIK, JAKARTA – Banjir yang kembali melanda sejumlah wilayah di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara dinilai bukan semata-mata akibat cuaca ekstrem. Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) menegaskan, bencana ekologis yang terus berulang di Sumatera merupakan dampak langsung dari kerusakan hutan yang dibiarkan berlangsung dalam waktu lama.
FOINI merupakan jaringan organisasi masyarakat sipil yang fokus pada isu keterbukaan informasi, akuntabilitas, dan tata kelola sumber daya alam. Koalisi ini beranggotakan lembaga-lembaga seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Greenpeace, Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), hingga Indonesian Parliamentary Center.
Juru Bicara FOINI, Arif Adiputro, menilai pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan, harus segera membuka secara transparan nama-nama perusahaan yang terindikasi merusak hutan di Sumatera. Menurutnya, ketertutupan negara justru memperparah krisis ekologis dan risiko bencana.
“Banjir di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara bukan musibah alam semata. Ini akibat dari kebijakan dan pembiaran terhadap perusakan hutan. Menutup identitas perusahaan sama saja membiarkan kejahatan ekologis terus berulang,” tegas Arif dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 20 Desember 2025.
Ia menjelaskan, Sumatera merupakan salah satu pulau dengan tingkat deforestasi dan alih fungsi hutan yang tinggi, terutama akibat ekspansi perkebunan skala besar, hutan tanaman industri, dan aktivitas pertambangan. Kerusakan kawasan hulu dan daerah tangkapan air secara langsung meningkatkan risiko banjir di wilayah hilir.
Ironisnya, kata Arif, negara sebenarnya memiliki data konsesi, hasil pengawasan, serta temuan pelanggaran kehutanan. Namun, informasi mengenai aktor korporasi yang terlibat justru tidak dibuka ke publik.
“Praktik ketertutupan ini mencederai hak masyarakat atas informasi, melemahkan akuntabilitas penegakan hukum, dan berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” ujarnya.
FOINI menilai, selama identitas dan status hukum perusahaan perusak hutan tidak diumumkan secara terbuka, sejumlah dampak serius akan terus terjadi. Mulai dari berulangnya banjir dan bencana ekologis, penegakan hukum kehutanan yang hanya bersifat simbolik, hingga impunitas bagi korporasi, sementara masyarakat menanggung kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Selain itu, ketertutupan informasi juga dinilai membuat upaya pemulihan lingkungan dan perlindungan wilayah kelola masyarakat menjadi tidak efektif dan cenderung semu.
Atas dasar itu, FOINI mendesak pemerintah melalui Kementerian Kehutanan untuk membuka daftar perusahaan yang terindikasi merusak hutan di Sumatera, lengkap dengan lokasi konsesi, jenis pelanggaran, serta status penanganan hukumnya. FOINI juga meminta penegakan hukum kehutanan dikaitkan langsung dengan upaya pencegahan bencana, terutama di wilayah rawan banjir.
“Negara harus menghentikan praktik pembiaran dan negosiasi tertutup dengan pelaku perusakan hutan, serta melibatkan masyarakat terdampak dalam pengawasan dan pemulihan lingkungan,” kata Arif.
FOINI mengingatkan, jika negara terus menutup identitas pelaku perusakan hutan, publik berhak mempertanyakan keberpihakan pemerintah. “Mengapa korban banjir harus terus membayar harga mahal, sementara perusahaan perusak hutan justru dilindungi oleh kerahasiaan negara,” pungkasnya. (*)
