KETIK, SURABAYA – Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Provinsi Jawa Timur (Jatim) menyepakati pencabutan lima peraturan daerah (perda) pada Rapat Paripurna di Gedung DPRD setempat, Senin, 17 November 2025.
Kesepakatan ini diputuskan, setelah Bapemperda DPRD Jatim melakukan pembahasan bersama perangkat daerah dan konsultasi dengan kementerian.
Juru bicara Bapemperda, Martin Hamonangan menyampaikan, pembahasan melibatkan Biro Hukum, Dinas ESDM, Disperindag, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Dinas Perhubungan, serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Selain itu, mempertimbangkan pandangan fraksi DPRD Jatim, pendapat Gubernur Jawa Timur, hasil konsultasi dengan dua kementerian terkait.“Kami melakukan konsultasi dengan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perdagangan,” kata Martin.
Ia menjelaskan, dari 6 perda yang dibahas, 5 di antaranya disepakati untuk dicabut karena tidak relevan dengan regulasi terbaru. Sementara 1 perda tetap berlaku.
Rincian perda yang dicabut meliputi: Pertama, Perda Provinsi Jatim Nomor 1 Tahun 2005 tentang Pengendalian Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C pada Wilayah Sungai.
Alasan dan pertimbangan pencabutan perda tersebut karena sejak berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, semua kewenangan pemerintah provinsi (pemprov) dalam pengelolaan bidang pertambangan beralih kepada pemerintah pusat dalam pengelolaan pertambangan. "Termasuk pertambangan bahan galian golongan C," katanya.
Kedua, Perda Provinsi Jatim Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Pasar Modern serta Penataan Pasar Tradisional.
"Perda tersebut dicabut, karena Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Modern dan Penataan Pasar Tradisional di Jatim bukan kewenangan Pemprov Jatim, tetapi menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota," ujar Martin.
Ketiga, Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2011 tentang Tata Kelola Bahan Pupuk Organik.
Perda ini dicabut karena sejak berlakunya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01 Tahun 201 tentang Pendaftaran Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah, maka Pengadaan, Pengujian, Pendaftaran, perubahan dan peralihan, pupuk Formula khusus, dan Pengawasan, menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Selain itu, lanjut Martin, Pemprov Jatim tidak berwenang untuk mengatur tata kelola pupuk bersubsidi pasca berlakunya Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi.
"Jadi yang menentukan pelaksanaan tata kelola pupuk bersubsidi, termasuk pupuk organik, mulai dari perencanaan, pengadaan, penyaluran, pembayaran, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan, menjadi kewenangan pemerintah pusat," tegas Martin.
4. Perda Provinsi Jatim Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pengendalian Kelebihan Muatan Angkutan Barang.
Alasan dan pertimbangan pencabutan perda itu, kata Martin, karena sejak berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa penetapan lokasi dan pengoperasian atau penutupan alat penimbangan kendaraan bermotor, menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Selain itu, Pasal 404 UU Nomor 23 Tahun 2014 memberikan batasan penyerahan Personel, Pendanaan, Prasarana dan Sarana, serta Dokumen (P3D) terkait Jembatan Timbang terakhir pada 2 Oktober 2016.
Beralihnya kewenangan pengoperasian jembatan timbang, maka Pemprov Jatim menyerahkan 20 jembatan timbang kepada Kementerian Perhubungan. "Namun pemerintah pusat hanya mengoparasikan 13 jembatan timbang. Itu pun dengan sistem buka tutup atau tidak dioperasikan penuh waktu selama 24 jam," paparnya.
5. Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pembangunan dan Pemberdayaan Perfilman.
Martin menjelaskan perda tersebut dicabut, karena sejak berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 huruf V mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kebudayaan pada Sub Urusan Perfilman, maka pembinaan perfilman hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Namun demikian, Pemprov Jatim masih dapat mengembangkan film daerah sebagai bagian dari pada sub sektor dari ekonomi kreatif sesuai dengan kewenangannya," papar Martin.
Sementara itu, Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Bandar Udara Abdulrachman Saleh Malang diputuskan tidak dicabut.
Pertimbangan perda tersebut tidak dicabut, Martin menjelaskan, karena Pemprov Jatim berwenang melakukan pengelolaan Bandar Udara Abdulrachman Saleh Malang melalui Unit Pengelola Badar Udara (UPBU), dalam hal ini adalah UPT Bandar Udara Abdulrachman Saleh Malang sesuai dengan Pasal 233 UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Menurut Martin untuk memastikan kelangsungan pengelolaan Bandar Udara Abdulrachman Saleh Malang, Pemprov Jatim harus mempercepat pengurusan perpanjangan Perjanjian Pinjam Pakai dan sekaligus perpanjangan Perjanjian Kerja Sama, yang akan berakhir pada tahun 2026. "Serta mencantumkan Perda Nomor 10 Tahun 2012 sebagai salah satu landasan hukum," pungkasnya. (*)
