Kebahagiaan sering dianggap datang ketika kita bisa membeli sesuatu untuk diri sendiri: pakaian baru, gawai canggih, atau liburan ke tempat indah. Namun, berbagai penelitian psikologi modern menunjukkan bahwa kebahagiaan justru lebih banyak datang ketika kita menggunakan uang untuk orang lain. Fenomena ini dikenal dengan istilah prosocial spending.
Salah satu penelitian paling terkenal dilakukan oleh Dunn, Aknin, dan Norton (2008) yang diterbitkan di jurnal Science, (https://www.science.org/doi/10.1126/science.1150952). Mereka menemukan bahwa orang yang menghabiskan uang untuk orang lain melaporkan tingkat kebahagiaan lebih tinggi dibandingkan mereka yang membelanjakan uang untuk diri sendiri.
Dalam eksperimen, sekelompok orang diberi sejumlah uang: ada yang diminta membelanjakannya untuk diri sendiri, ada yang diminta membelanjakannya untuk orang lain. Hasilnya konsisten: yang memberi justru lebih bahagia.
Penelitian ini diperkuat oleh studi lintas budaya yang lebih luas. Aknin dkk. (2013) melakukan survei di 136 negara, dari negara kaya hingga negara miskin. Hasilnya, di berbagai belahan dunia, orang merasa lebih bahagia ketika menggunakan uang untuk orang lain. Bahkan di negara dengan tingkat pendapatan rendah sekalipun, memberi tetap membawa kebahagiaan, meskipun kadarnya bisa berbeda.
Lebih baru lagi, replikasi besar-besaran oleh Aknin dkk. (2020) melibatkan ribuan peserta. Hasilnya: efek memberi pada kebahagiaan memang nyata, meski tidak selalu besar. Efeknya bergantung pada siapa penerimanya dan bagaimana bentuk pengeluarannya. Misalnya, membelanjakan uang untuk orang yang kita cintai atau untuk pengalaman bersama lebih meningkatkan kebahagiaan daripada sekadar memberi tanpa interaksi.
Meta-analisis (penggabungan banyak penelitian) juga mendukung temuan ini. Hui dkk. (2020) menganalisis puluhan studi dan menyimpulkan bahwa tindakan prososial, termasuk memberi uang, berhubungan positif dengan kebahagiaan. Efeknya memang “kecil sampai sedang,” tetapi cukup konsisten di berbagai konteks.
Mengapa memberi membuat hati lega?
Psikologi menjelaskan beberapa alasannya:
Rasa keterhubungan sosial. Ketika kita memberi, kita merasa lebih dekat dengan orang lain. Rasa memiliki dan keterhubungan inilah yang menumbuhkan kebahagiaan.
Makna hidup. Memberi membuat kita merasa hidup kita bermanfaat, memberi arti lebih dalam daripada sekadar memenuhi kebutuhan pribadi.
Pengalaman emosional positif. Senyum penerima, ucapan terima kasih, atau sekadar bayangan bahwa orang lain terbantu, mampu menimbulkan perasaan hangat yang menenangkan hati.
Dengan kata lain, kebahagiaan sejati bukan terletak pada seberapa banyak kita memiliki, tetapi seberapa besar kita mampu berbagi.
Menariknya, apa yang baru dibuktikan sains modern ini sudah lama diajarkan dalam Islam. Allah SWT berfirman:
لَن تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”
(QS. Ali Imran [3]: 92)
Ayat ini menegaskan bahwa puncak kebaikan tercapai ketika kita rela mengeluarkan sebagian dari apa yang paling kita cintai. Harta yang kita genggam akan hilang pada waktunya, tetapi harta yang kita keluarkan di jalan Allah akan kembali dalam bentuk pahala dan ketenangan hati.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maknanya, orang yang memberi (tangan di atas) lebih utama dan lebih mulia dibandingkan orang yang meminta. Dengan memberi, bukan hanya penerima yang berbahagia, tetapi pemberi pun mendapat kebahagiaan batin yang jauh lebih dalam.
Penelitian ilmiah modern membuktikan bahwa spending money on others promotes happiness — membelanjakan uang untuk orang lain membuat kita lebih bahagia. Sementara Islam sejak 14 abad lalu sudah menanamkan nilai yang sama: kebahagiaan hakiki ada pada memberi, bukan sekadar memiliki.
Oleh karena itu, marilah kita biasakan berbagi. Tidak harus selalu besar; bahkan senyuman, sedekah kecil, atau traktiran sederhana bisa membawa kebahagiaan yang tulus. Jika sains menegaskan manfaatnya, dan agama memerintahkannya, maka jelaslah: memberi adalah jalan bahagia, di dunia dan di akhirat.
Maka, berniatlah memberi, insya Allah kebahagiaan akan selalu hadir. (*)
*) KH. Ahmad Ghozali Fadli adalah Rois Syuriah MWC NU Wonosalam Jombang sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Alquran Wonosalam Jombang
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi. (*)