KETIK, MALANG – Merebaknya serangan hama tikus dan burung di persawahan Desa Ampeldento, Kabupaten Malang, mendorong mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menciptakan solusi inovatif berupa teknologi smart farming.
Inovasi ini bertujuan mengatasi persoalan hama yang selama ini hanya ditanggulangi petani menggunakan cara-cara tradisional, seperti jebakan atau pestisida. Penggunaan pestisida yang berlebihan diketahui memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.
Himpunan Mahasiswa Agribisnis (Himagri) UMM menggagas inovasi teknologi pertanian modern berupa Integrasi Smart Farming 5.0 berbasis SolarSonic IoT Guard. Solusi ini diharapkan dapat menjadi alternatif yang berkelanjutan untuk sektor pertanian.
Ketua Himagri UMM, Galih Raka Yudistira, mengatakan bahwa Smart Farming 5.0 itu merupakan teknologi yang diperuntukkan untuk membantu petani mengendalikan hama tikus dan burung secara efisien serta ramah lingkungan. Peralatan ini berbasis Internet of Things (IoT) dan diklaim mampu lebih efektif mengusir hama di sawah. Paling penting, inovasi ini tidak berdampak negatif terhadap lingkungan.
"SolarSonic IoT Guard bekerja otomatis dan dapat dikendalikan lewat aplikasi. Jadi, petani tidak perlu lagi bergantung pada cara konvensional yang kadang tidak efektif. Dengan teknologi ini, hasil panen diharapkan lebih aman dari serangan hama,” ungkap Galih Raka Yudistira, ditemui di UMM, Rabu, 1 Oktober 2025.
Produk ini dibekali empat komponen utama. Pertama, Raspberry sebagai mikrokontroler yang berfungsi mengatur sistem. Kedua, panel surya dan baterai yang menjadi sumber energi terbarukan, memungkinkannya beroperasi 24 jam penuh.
"Ketiga, kamera thermal yang mampu mendeteksi perbedaan suhu tubuh hama dengan lingkungan sekitar, dan terakhir speaker ultrasonik yang memancarkan gelombang suara khusus untuk mengusir hama tanpa merusak lingkungan," terangnya.
Menariknya, peralatan ini dioperasikan secara otomatis sepanjang hari dengan dukungan energi panel surya dan baterai, serta tidak memerlukan aliran listrik dari PLN. Pada malam hari, kamera thermal aktif untuk mendeteksi tikus, dan apabila terdeteksi, speaker pengusir tikus segera bekerja hingga pagi.
"Sementara pada pagi hingga sore, sistem beralih ke mode pengusir burung, di mana speaker burung menyala secara periodik untuk menjaga sawah tetap aman," katanya.
Seluruh mekanisme berjalan mandiri, sehingga petani hanya perlu memantau data atau menyesuaikan volume melalui aplikasi IoT sesuai kebutuhan. Dimana datanya bisa terus diperbarui dari waktu ke waktu sesuai kebutuhan.
“Sistem ini dirancang adaptif sehingga dapat diperbarui seiring waktu. Hal ini penting karena tikus merupakan hewan pintar yang mudah beradaptasi terhadap gangguan berulang, sehingga pola penyalaan maupun frekuensi suara dapat diubah agar efektivitas alat tetap terjaga dalam jangka panjang,” jelasnya.
Proses pembuatan peralatan pencegah hama tikus dan burung kreasi mahasiswa UMM (Aris ketik)
Galih mengakui, pengoperasian alat ini tidaklah mudah dan menghadapi sejumlah kendala teknis. Kesulitan utama yang dihadapi adalah pengadaan komponen, sebab komponen-komponen tersebut sulit ditemukan di Malang sehingga harus dibeli dari luar daerah.
"Biayanya pengadaan komponen pun relatif tinggi pun. Selain itu, kami memerlukan waktu lebih untuk mempelajari integrasi sistem IoT, termasuk pemrograman image processing agar deteksi hama berjalan optimal," ujarnya.
Kendati demikian, kerja keras itu membuahkan hasil yang menjanjikan. Alat ini mampu menekan kerugian akibat hama, meningkatkan hasil panen, sekaligus lebih ramah lingkungan dibanding penggunaan pestisida kimia. Manfaat program juga dirasakan mahasiswa.
Menurut Galih, keterlibatan mahasiswa dalam perencanaan hingga monitoring menjadi pengalaman penting untuk melatih kepemimpinan, tanggung jawab sosial, dan kemampuan manajerial.
"Jadi kami belajar bagaimana berkolaborasi dengan masyarakat, sekaligus memastikan bahwa ilmu yang mereka pelajari benar-benar bermanfaat secara nyata," pungkasnya. (*)