Tekanan Publik Desak Kejari Sleman Segera Tahan Eks Bupati Sri Purnomo

Isu Tahanan Kota Dikhawatirkan Jadi Preseden Buruk

28 Oktober 2025 10:10 28 Okt 2025 10:10

Thumbnail Tekanan Publik Desak Kejari Sleman Segera Tahan Eks Bupati Sri Purnomo
Susantio SH MH, pengamat hukum dari Yogyakarta yang sejak awal mengikuti perkembangan penanganan perkara dugaan korupsi dana hibah pariwisata Sleman 2020. (Foto: Fajar Rianto/Ketik.com)

KETIK, YOGYAKARTA – Keputusan Kejaksaan Negeri (Kejari) Sleman untuk tidak menahan mantan Bupati Sleman, Sri Purnomo (SP) usai menetapkan sebagai tersangka, memicu kontroversi. Sebelumnya, pada Selasa, 30 September 2025, Korps Adhyaksa menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah pariwisata senilai Rp 10,95 miliar. 

Selain konsistensi penegakan hukum dipertanyakan, kini beredar isu bahwa jika pun ditahan, Kejari Sleman hanya akan menerapkan tahanan kota. Tekanan publik pun mengalir deras, mendesak Kejari untuk bersikap tegas.

Kritik Keras: Tahanan Kota Jadi Preseden Buruk

Pengamat hukum dari Yogyakarta, Susantio, secara terbuka mengkritik keras langkah Kejari Sleman. Ia menyoroti adanya perbedaan mencolok (standar ganda) dalam penanganan kasus korupsi di DIY, di mana pejabat di bawah level bupati seperti tersangka kasus Kominfo dan TKD langsung ditahan, sementara SP tidak.

Susantio menegaskan bahwa opsi keringanan penahanan bagi SP akan sangat merusak citra penegakan hukum anti-korupsi. Selain mempertanyakan konsistensi penegakan hukum, belakangan ini beredar isu di tengah masyarakat bahwa jika pun ditahan, Kejari Sleman hanya akan menerapkan tahanan kota.

"Jika akan dilakukan pengalihan entah itu tahanan kota atau ditangguhkan akan jadi preseden buruk dalam penanganan korupsi," ujar Susantio, Selasa 28 Oktober 2025.

Ia menilai, opsi tahanan kota sangat tidak proporsional mengingat besarnya kerugian negara yang mencapai hampir Rp 11 miliar dan jeratan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang ancaman hukumannya di atas lima tahun.

"Jika isu tersebut benar dengan kata lain hanya akan melakukan tahanan kota. Ini akan semakin memperkuat kesan adanya perlakuan istimewa terhadap mantan kepala daerah. Kerugian negara yang besar menuntut penahanan fisik di Rutan untuk menjamin integritas penyidikan," tegasnya.

Alasan Hukum Mendesak Penahanan Fisik

Susantio menekankan, penahanan fisik di rutan menjadi krusial untuk membangun keberanian (suport) tim penyidik dan menjamin proses hukum yang bersih. Menurutnya hal ini didasarkan pada dua alasan kuat:
1. Potensi mempengaruhi saksi dan menghilangkan bukti: Susantio mengingatkan, dengan dijeratnya SP menggunakan Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP (Penyertaan), yang mengindikasikan adanya tersangka lain, penahanan fisik penting untuk mencegah SP memengaruhi saksi atau pihak terkait. Risiko Justice Delayed (keadilan yang tertunda) akibat lambatnya penyidikan sebelumnya harus diimbangi dengan langkah pencegahan yang tegas.
2. Kepastian hukum dan persamaan di muka hukum: Ia menekankan, syarat objektif penahanan sudah terpenuhi. Penahanan (bukan tahanan kota) akan membuktikan bahwa hukum berlaku sama bagi semua warga negara, terlepas dari jabatannya.

Sementara itu, Kepala Kejari Sleman, Bambang Yunianto, sebelumnya menjelaskan bahwa keputusan untuk tidak menahan Sri Purnomo bersifat profesional, objektif, dan proporsional. Ia memastikan penahanan akan dipertimbangkan setelah SP menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka.

Meskipun penyidik memastikan penyidikan terus berlanjut untuk mendalami pihak-pihak lain yang terlibat, Kejari Sleman belum memberikan konfirmasi atau membantah secara resmi isu mengenai kemungkinan penerapan tahanan kota. Kejari diminta publik untuk segera memberikan kepastian hukum yang transparan. (*)

Tombol Google News

Tags:

Kejari Sleman Mantan Bupati Sleman Korupsi Tahanan Kota Penegakan hukum Kasus korupsi Sri Purnomo Kasus Dana Hibah tersangka korupsi HUKUM Kriminal Yogyakarta Penkum Kejati DIY Puspenkum Kejagung