KETIK, SURABAYA – Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur menyoroti keras salah satu program stasiun televisi nasional, Trans7, yang diduga menayangkan konten mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) serta menyebarkan informasi menyesatkan terkait kehidupan di pondok pesantren.
Ketua KPID Jawa Timur, Royin Fauziana, mengungkapkan bahwa lembaganya telah menerima laporan dari masyarakat dan tokoh pesantren di berbagai daerah yang keberatan atas isi tayangan tersebut. Program Trans7 itu menuai perhatian publik lantaran sejumlah adegan dinilai memperkuat stereotip negatif terhadap santri, kiai, dan lembaga pendidikan keagamaan.
“Kami menilai ada indikasi pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), khususnya terkait penghormatan terhadap nilai-nilai agama dan keberagaman,” kata Royin dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 14 Oktober 2025.
Ketua KPID Jawa Timur menambahkan bahwa televisi sebagai media publik memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kohesi sosial, terlebih di wilayah seperti Jawa Timur yang dikenal memiliki banyak pesantren dan masyarakat religius yang majemuk.
“Penyiaran harus memperkuat toleransi, bukan sebaliknya. Tayangan dengan narasi yang mengarah pada stigma terhadap kelompok tertentu jelas bertentangan dengan semangat keberagaman bangsa,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran (PIS) KPID Jatim, Aan Haryono, menilai bahwa tayangan tersebut bukan hanya berpotensi memicu sentimen sosial, tetapi juga mengandung unsur fabrikasi yang menyesatkan publik.
“Kami menemukan adanya manipulasi narasi dan penyuntingan gambar yang menimbulkan kesan seolah-olah pesantren menjadi tempat yang tertutup dan ekstrem. Ini bentuk fabrikasi konten yang tidak sesuai dengan prinsip keberimbangan jurnalistik,” jelas Aan.
Aan menegaskan, kehati-hatian wajib diterapkan lembaga penyiaran saat membuat program yang mengangkat tema keagamaan atau kehidupan sosial berbasis komunitas.
“KPI tidak melarang kritik atau kajian terhadap fenomena keagamaan, tetapi harus dilakukan dengan pendekatan etis, berimbang, dan berbasis data. Ketika imajinasi televisi justru menggantikan fakta, maka yang lahir adalah disinformasi,” katanya.
Untuk mencegah salah representasi terhadap lembaga pendidikan dan kelompok sosial, KPID Jatim mendesak lembaga penyiaran memperkuat sistem verifikasi konten dan melibatkan narasumber yang kompeten.
“Kami terus mendorong penyiaran yang mencerdaskan, menyejukkan, dan menjaga kohesi sosial. Tayangan yang mengandung ujaran kebencian, eksploitasi stereotip, atau manipulasi informasi akan kami tindak sesuai ketentuan,” jelasnya.
KPID Jatim berencana melaporkan hasil aduan masyarakat kepada KPI Pusat dan menyampaikan rekomendasi kebijakan untuk memperkuat literasi penyiaran, khususnya program keagamaan dan sosial budaya. (*)