KETIK, BLITAR – Pernyataan kontroversial Wali Kota Blitar Syauqul Muhibbin atau yang akrab disapa Mas Ibin memantik gelombang kritik tajam.
Dalam konferensi pers di Pasar Wage Kota Blitar, Selasa 14 Oktober 2025, Mas Ibin menanggapi isu keretakan hubungannya dengan Wakil Wali Kota Elim Tyu Sambadengan. Namun, pernyataannya justru memperkeruh suasana.
Alih-alih menepis isu perpecahan, Mas Ibin malah melempar analogi yang dianggap merendahkan posisi wakil kepala daerah.
“Sebenarnya enggak ada masalah, tugas dan wewenang kepala daerah dan wakilnya sudah diatur semuanya. Jadi gak ada istilahnya tidak diajak komunikasi, emang kenapa? Mohon maaf, misalkan ada majikan dan ada pembantu," ujar Ibin dengan nada santai.
"Kalau pembantu gak anda suruh bikin kopi, kan malah enak iso nge-game (bisa main game),” sambungnya.
Keretakan hubungan dua pucuk pimpinan Kota Blitar ini bermula dari kebijakan mutasi sejumlah pejabat Pemkot Blitar.
Elim Tyu Samba, yang juga dikenal sebagai wakil wali kota perempuan pertama di Blitar, secara terbuka mengaku tidak pernah diajak berkoordinasi dalam pengambilan keputusan tersebut.
“Saya ini terbang ke Jakarta karena tidak diajak koordinasi sama sekali soal mutasi jabatan. Sebagai abdi masyarakat, saya berkewajiban melaporkan hal ini ke Kementerian Dalam Negeri,” tegas Elim sebelum bertolak ke Jakarta, Senin 13 Oktober 2025.
Elim juga menyoroti tidak adanya komunikasi terkait pembahasan APBD dan kebijakan strategis lainnya, sesuatu yang menurutnya mengabaikan semangat transparansi dan kerja kolektif dalam pemerintahan daerah.
Namun, Mas Ibin bergeming. Ia menilai langkah mutasi tersebut sudah sesuai aturan dan menuding pihak-pihak yang mempermasalahkannya hanya sedang mencari panggung politik.
“Ya kalau mau cari panggung ya silahkan saja. Saya tetap fokus membangun Kota Blitar. Kalau mau jadi wali kota, nanti 5 tahun lagi,” ujar Ibin menantang.
Pernyataan keras Mas Ibin bukan hanya mengusik hubungan internal pemerintahan, tapi juga memicu reaksi dari DPRD dan pengamat kebijakan publik. Ketua DPRD Kota Blitar Syahrul Alim menegaskan bahwa hak prerogatif wali kota tidak berarti kebal kritik, apalagi jika berdampak pada moral ASN.
“Mutasi ASN itu hak wali kota, tapi tetap harus objektif. Kalau dilakukan tanpa memperhatikan kinerja, justru akan menghambat pelayanan publik,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Nugroho menilai ucapan Mas Ibin sebagai bentuk arogansi kekuasaan yang menyalahi etika politik.
“Wakil kepala daerah bukan pembantu rumah tangga. Mereka pejabat politik yang dipilih rakyat. Ucapan itu bukan hanya merendahkan posisi Wawali, tapi juga menunjukkan lemahnya pemahaman soal kepemimpinan kolektif,” tegas Nugroho.
“Kalau cara berpikir kepala daerah seperti itu, ini alarm bahaya bagi tata kelola pemerintahan yang sehat,” tambahnya.(*)