Sosok Ulil Abshar Abdalla, Ketua PBNU yang Banjir Kecaman Usai Bencana di Sumatra

4 Desember 2025 09:20 4 Des 2025 09:20

Thumbnail Sosok Ulil Abshar Abdalla, Ketua PBNU yang Banjir Kecaman Usai Bencana di Sumatra
Ulil Abshar Abdalla, Ketua PBNU. (Foto: UIN Sunan Kalijaga)

KETIK, SURABAYA – Di tengah konflik di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), nama Ulil Abshar Abdalla kembali viral di jagat warganet. Salah satu Ketua PBNU itu menjadi bahan perbincangan bukan saja terkait konflik internal yang diduga dipicu masalah tambang itu. Tapi terkait video lamanya saat berdebat dengan aktivis Greenpeace, Iqbal Damanik di Kompas TV. 

Ucapan Ulil yang melabeli Iqbal Damanik sebagai ‘Wahabi Lingkungan’ dan hanya menakut-nakuti masyarakat terkait kebijakan pertambangan, memancing kegeraman masyarakat luas. 

Netizen kemudian mengaitkan ucapan Ulil bahwa aktivis lingkungan hanya menebar ketakutan akan kerusakan lingkungan, dengan bencana yang benar-benar terjadi di Sumatra akibat pembabatan hutan, ekspansi kebun sawit dan kerusakan alam lainnya. 

Beruntung, Ulil menanggapi santai banjir hujatan yang diarahkan terhadap dirinya itu. 

“Dari kemaren hingga pagi ini saya mendapat serangan. Dibombardir telp dan wa ndak berhenti2. Isinya makian dan ancaman. Sekian, harap maklum,” tulis Ulil sembari membubuhkan emoticon senyum, dalam postingan di akun media sosialnya. 

Bela Kerabat di Konflik PBNU

Sikap Ulil yang kekeh membela sikap PBNU untuk mengambil konsesi tambang, memang banyak menuai kecaman dan kekecewaan dari koleganya.

Dalam kasus dualisme di tubuh PBNU, Ulil termasuk salah satu pengurus yang gigih membela Gus Yahya menghadapi proses pemakzulan. 

Hal itu menjadi wajar karena dia merupakan salah satu Ketua PBNU pada masa kepemimpinan Gus Yahya. Terlebih, Ulil juga masih berkerabat dengan Gus Yahya.

Ayah mertua Ulil, yakni KH Mustofa Bisri merupakan adik kandung dari (alm) KH Cholil Bisri, ayah kandung Gus Yahya dan juga Yaqut Cholil Qoumas, mantan Menteri Agama era Jokowi jilid 2. Atau dengan kata lain, Ulil merupakan sepupu ipar dari Gus Yahya dan Gus Yaqut.

Di PBNU, ia juga aktif menyuarakan Islam yang moderat, pluralis, dan damai — misalnya ketika dia berbicara bahwa Islam di Indonesia “sangat menghargai perdamaian” dan bisa bersintesis dengan budaya lokal serta memberi ruang bagi perempuan. 

Pada satu fase, Ulil diidentikkan dengan pemikiran liberal lewat JIL. Pada fase berikutnya — terutama setelah bergabung penuh dalam struktur NU — ia terlihat lebih condong pada spiritualitas, sufisme, dan posisi moderat/inklusif. Transformasi ini bisa dianggap representatif bagi perubahan dinamika pemikiran dalam komunitas Islam tradisional di Indonesia.

Besar dari Tradisi Pesantren Salaf, Akrab dengan Modernitas

Sepak terjang Ulil Abshar Abdalla di dunia pemikiran Islam tak lepas dari latar belakang pendidikannya yang kuat berakar pada tradisi Islam klasik. Lahir di Pati, Jawa Tengah, pada 11 Januari 1967, Ulil tumbuh dalam kultur pesantren. 

Ayahnya, KH Abdullah Rifa'i, adalah pengasuh Pondok Pesantren Mansajul Ulum, Pati. Dari lingkungan inilah ia mengenal dasar-dasar ilmu keislaman, sebelum melanjutkan pendidikan di berbagai pesantren di Jawa Tengah, termasuk Madrasah Mathali’ul Falah di Kajen—salah satu pesantren berpengaruh di kalangan NU.

Dengan bekal keterampilan membaca teks-teks Arab klasik (kitab kuning) yang mumpuni, Ulil di usia remaja melanjutkan kuliah ke dua kampus sekaligus. LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta dan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara.

LIPIA dikenal sebagai cabang dari Universitas Imam Saud, Arab Saudi yang dikenal cukup prestisius dalam studi Islam. Sedangkan STF Driyarkara merupakan salah satu kampus Katolik yang cukup ternama dalam studi filsafat di Indonesia. 

Perjalanan intelektualnya berlanjut ke Amerika Serikat, di mana ia meraih gelar master di Boston University dan kemudian melanjutkan program doktoral di Harvard University.

Kombinasi antara pendidikan pesantren, perguruan tinggi modern, dan studi agama tingkat tinggi inilah yang menjadikan Ulil sebagai cendekiawan yang mampu menggabungkan tradisi Islam Indonesia dengan pemikiran kontemporer, filsafat, dan wawasan global.

Dalam kehidupan pribadi, Ulil menikah dengan putri sulung KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dan dikaruniai dua putra. Gus Mus sendiri dikenal sebagai kiai moderat dan termasuk ulama berpengaruh di tubuh NU, pernah menjabat sebagai Mustasyar, Rais Am, hingga Rais Syuriah PBNU pada 2015.

Motor Pembaruan lewat Islam Liberal

Di luar sorotan saat ini, nama Ulil sudah lama dilekatkan dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Ulil merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari Jaringan Islam Liberal (JIL) pada era 99 dan awal 2000-an. Saat itu, ia dikenal sebagai aktivis muda dan intelektual NU.

Posisinya kala itu sebagai Ketua Lakpesdam -sayap NU yang fokus di gerakan intelektual- makin memperkuat posisinya di kancah pemikiran Islam. 

Namun, itu juga sekaligus memicu kontroversi. Sebagian kalangan menilai, Islam Liberal yang dimotori oleh Ulil Abshar Abdalla sebagai gerakan yang merusak ajaran Islam. Bahkan pada tahun 2002, sekelompok umat Islam yang menamakan diri Forum Ulama Umat Islam (FUUI) mengeluarkan fatwa bahwa Islam Liberal sesat dan halal darahnya bagi sosok Ulil Abshar Abdalla.

Fatwa itu dipicu salah satu artikel Ulil Abshar Abdalla yang dimuat di Harian Kompas beberapa waktu sebelumnya. 

Fatwa keras itu memicu reaksi pembelaan dari banyak orang, terutama kalangan nahdliyin serta aktivis demokrasi. Termasuk juga sang mertua, KH Mustofa Bisri yang cenderung membela Ulil. 

Ulil sendiri dalam berbagai kesempatan menegaskan, Islam Liberal lahir didasari semangat pembaruan Islam. Sesuatu yang menurutnya menjadi keniscayaan dalam ajaran Islam. 

Seiring waktu dan bertambahnya usia, ia tampak berpindah fokus — dari aktivisme pemikiran liberal menuju kajian spiritualitas dan sufisme. Hal ini ditandai dengan penerbitan buku karya beliau yang berjudul Menjadi Manusia Rohani, yang disebut sebagai penjelasan atas kitab klasik al-Hikam karya ulama tasawuf. 

Terlibat Politik Praktis Bersama Anas Urbaningrum di Partai Demokrat
Meski lebih dikenal sebagai intelektual dan aktivis pemikiran Islam, Ulil Abshar Abdalla sempat terjun ke politik praktis. Keterlibatan itu terlihat ketika ia bergabung dengan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat pada era kepemimpinan Anas Urbaningrum pada awal 2010-an.

Saat itu, Partai Demokrat sedang berada pada puncak pengaruhnya di tingkat nasional, sehingga langkah Ulil dianggap sebagai upaya memperluas arena perjuangan gagasan melalui jalur politik elektoral. Di dalam struktur DPP, Ulil berperan sebagai salah satu kader intelektual yang membawa perspektif moderat dan progresif ke dalam diskursus internal partai. 

Namun, kiprahnya tidak berlangsung lama; setelah Anas tersangkut kasus hukum dan dinamika politik internal berubah, Ulil memilih kembali fokus pada dunia pemikiran, kajian keagamaan, dan aktivitas kultural di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Keluar dari Politik Praktis, Hidupkan Pengajian Kitab Kuning Daring

Setelah tak lagi aktif di politik praktis, Ulil lebih fokus di NU. Ia kemudian dipercaya menjadi salah satu Ketua PBNU hasil muktamar NU di Lampung tahun 2021. 
Lewat peran di NU, Ulil mencoba menjembatani tradisi Islam ke-NU-an dengan pemikiran kontemporer: menjadikan NU sebagai institusi yang relevan dengan zaman, sekaligus tetap berakar tradisi.

Sejak beberapa tahun terakhir, Ulil juga aktif menghidupkan pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin melalui daring. Sang istri, Ienas Truroyya juga aktif mendampinginya sebagai admin.

Tombol Google News

Tags:

Ulil Abshar Abdalla PBNU Gus Yahya Islam Liberal Ihya