Public Relation di Tengah Skandal: Respons Cepat atau Panik Reaktif?

27 Oktober 2025 16:24 27 Okt 2025 16:24

Thumbnail Public Relation di Tengah Skandal: Respons Cepat atau Panik Reaktif?
Oleh: Silvi Aris Arlinda*

Isu yang menyeret nama seorang figur publik yang tengah menghadapi skandal baru-baru ini kembali menjadi sorotan publik. Tidak hanya memunculkan gelombang komentar dan spekulasi di media sosial, tetapi juga mengguncang dunia industri yang selama ini menjadikan figur publik sebagai wajah merek mereka. 

Sejumlah brand dengan cepat mengeluarkan klarifikasi, bahkan memutus kontrak kerja sama, demi menjaga citra dan kepercayaan publik. Fenomena ini menarik dibaca melalui perspektif ilmu komunikasi dan public relation, khususnya dalam konteks komunikasi krisis.

Dinamika Krisis di Era Digital

Krisis reputasi di era digital berlangsung dalam hitungan detik. Publik tidak lagi menunggu konferensi pers atau laporan resmi; mereka membentuk opini melalui potongan video, unggahan komentar, dan narasi media sosial.

Dalam situasi seperti ini, waktu menjadi variabel paling mahal. Brand yang lambat dianggap abai, sementara yang terlalu cepat sering dianggap panik. Maka, dilema antara “respons cepat” dan “reaksi reaktif” menjadi sangat tipis.

Banyak brand yang terhubung dengan figur publik tersebut merespons dengan langkah tegas: menegaskan posisi netral, menghentikan kerja sama, dan menghapus konten kolaborasi.

Tindakan ini merupakan bentuk issue management upaya meminimalkan dampak reputasional dari krisis eksternal. Namun, tindakan cepat tidak selalu identik dengan strategi yang matang.

Antara Kecepatan dan Kehati-hatian

Dalam teori crisis communication, seorang praktisi PR dituntut untuk menyeimbangkan dua hal: kecepatan informasi dan kedalaman pesan. Klarifikasi yang tergesa-gesa tanpa riset dan pertimbangan komunikasi bisa menimbulkan efek bumerang. 

Publik mungkin melihatnya bukan sebagai bentuk tanggung jawab, melainkan sebagai upaya “cuci tangan” dari pihak brand. Sebaliknya, klarifikasi yang dirancang dengan pendekatan empatik dan transparan akan memperkuat kredibilitas merek.

Misalnya, menjelaskan konteks kerja sama, menegaskan nilai perusahaan, serta menunjukkan komitmen untuk tidak memihak pada tindakan yang melanggar norma. Di sini, komunikasi bukan sekadar pernyataan singkat di media sosial, melainkan upaya membangun dialog yang sehat antara brand dan publik.

Klarifikasi sebagai Cermin Etika Brand

Klarifikasi adalah bagian dari komunikasi krisis yang mengandung nilai moral. Ia tidak hanya bertujuan meredam kemarahan publik, tetapi juga menunjukkan sejauh mana sebuah brand memiliki integritas.

Dalam kasus terbaru ini, beberapa brand menyampaikan bahwa kerja sama dilakukan sebelum isu merebak dan menegaskan bahwa langkah mereka semata untuk menjaga kredibilitas. Pernyataan semacam ini mencerminkan respons strategis yang tidak menyudutkan individu, tetapi tetap memagari nilai perusahaan.

Sebaliknya, klarifikasi yang terlalu singkat, tanpa konteks, atau terkesan ikut arus viral justru memperlihatkan kepanikan komunikasi. Dalam teori, hal itu disebut reactive communication langkah komunikasi yang muncul spontan, bukan hasil perencanaan strategis. Ketika publik menilai brand sebagai pihak yang “ikut panik”, maka krisis yang semula eksternal bisa berubah menjadi krisis internal bagi reputasi mereka sendiri.

Pelajaran untuk Dunia Public Relation

Kasus ini memberi pelajaran penting bagi dunia public relation di Indonesia. Pertama, setiap brand perlu memiliki crisis communication plan yang jelas dan fleksibel. Krisis bisa datang dari mana saja bukan hanya dari produk, tetapi juga dari orang yang mewakilinya. 

Kedua, tim PR harus memahami bahwa klarifikasi bukan soal membela diri, melainkan mengelola persepsi publik dengan bijak. Ketiga, komunikasi yang mengandung empati dan edukasi publik akan lebih dihargai dibanding sekadar pernyataan dingin tanpa konteks.

Era digital menuntut setiap brand menjadi komunikator aktif yang peka terhadap sentimen publik. Namun, kepanikan tidak boleh menggantikan strategi. Respons cepat memang penting, tetapi harus dibingkai oleh etika, ketenangan, dan konsistensi nilai.

Refleksi Penutup

Pada akhirnya, setiap krisis komunikasi adalah ujian karakter bagi sebuah brand. Bukan hanya tentang bagaimana mereka merespons isu, tetapi juga tentang siapa mereka di mata publik. Respons yang terburu-buru bisa meredakan kemarahan sesaat, tetapi strategi komunikasi yang matang akan membangun kepercayaan jangka panjang.

Dalam konteks komunikasi modern, kecepatan memang penting, tetapi yang lebih penting adalah arah dan niat dari setiap kata yang disampaikan. Sebab di tengah derasnya arus opini, publik tidak hanya menilai apa yang dikatakan sebuah brand mereka juga menilai bagaimana cara brand itu mendengarkan.

*) Silvi Aris Arlinda, S.I.Kom., M.I.Kom merupakan Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Slamet Riyadi

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Public relation Silvi Aris Arlinda