PSHT Kabupaten Blitar Ketuk Pintu DPRD, Legalitas Ditegaskan, Keadilan untuk Atlet Diperjuangkan

23 Oktober 2025 15:21 23 Okt 2025 15:21

Thumbnail PSHT Kabupaten Blitar Ketuk Pintu DPRD, Legalitas Ditegaskan, Keadilan untuk Atlet Diperjuangkan
PSHT Cabang Kabupaten Blitar saat menyerahkan legalitas ke DPRD Kabupaten Blitar, Kamis 23 Oktober 2025. (Foto: Favan/Ketik.com)

KETIK, BLITAR – Di bawah langit pagi yang hangat, Kamis 23 Oktober 2025, puluhan pendekar berseragam hitam dari Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) berbaris rapi di halaman Gedung DPRD Kabupaten Blitar.

Mereka datang bukan untuk unjuk kekuatan, melainkan membawa secarik dokumen yang telah lama mereka tunggu yakni Surat Keputusan Kementerian Hukum RI yang menegaskan legalitas organisasi pencak silat mereka.

Namun, di balik selembar kertas yang ditandatangani pejabat negara itu, tersimpan harapan dan kekecewaan yang menumpuk selama bertahun-tahun.

“Kami hanya ingin diakui. Ingin atlet kami diberi kesempatan yang sama,” kata Tugas Nanggolo Yudho Dili Prasetiono, atau akrab disapa Kangmas Bagas, Ketua PSHT Cabang Kabupaten Blitar. Suaranya tenang, tapi nadanya menyiratkan keteguhan.

Ia menyerahkan langsung Salinan SK Menteri Hukum dan HAM RI Nomor AHU-0005248.AH.01.07 Tahun 2025 kepada Wakil Ketua DPRD Kabupaten Blitar, M. Rifa’i.

SK itu, tertanggal 17 Juli 2025 dan ditandatangani Dirjen AHU Widodo atas nama Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, secara resmi mengesahkan PSHT di bawah kepemimpinan Kangmas Dr. Ir. Muhammad Taufiq, SH, M.Sc.

“Dengan SK ini, kami berdiri di atas dasar hukum yang sah,” ujar Kangmas Bagas.

“Kami datang bukan untuk menuntut hak istimewa, tapi untuk menegaskan bahwa PSHT juga bagian dari Blitar yang sah, yang ikut berjuang membangun karakter dan prestasi anak muda," tambahnya.

PSHT bukan organisasi kecil. Di Blitar, mereka memiliki jaringan kuat, dengan ratusan atlet muda yang digembleng melalui latihan disiplin dan penguatan moral.

Namun, di arena resmi olahraga, nama mereka jarang terdengar. Bukan karena kalah dalam laga, tetapi karena tidak diakui oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Blitar.

Tanpa naungan KONI, atlet PSHT tak bisa menembus kejuaraan resmi.

“Pintu itu tertutup rapat bagi kami,” kata Kangmas Bagas lirih. “Anak-anak sudah berlatih keras, tapi selalu berhenti di gerbang birokrasi. Mereka ingin bertanding, tapi sistem tidak memberi ruang," tambahnya.

Bagi Bagas, persoalan ini bukan semata tentang silat. Ia berbicara tentang kegigihan anak-anak muda di desa-desa Blitar, yang menjadikan gelanggang silat sebagai tempat menempa diri. Mereka belajar menghormati lawan, menjaga martabat, dan menyalurkan energi pada hal-hal positif.

“Kalau ruang berprestasi ditutup, ke mana semangat mereka harus disalurkan?” ujarnya.

Di ruang pertemuan DPRD, suasana siang itu terasa berbeda. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Blitar, M. Rifa’i, tampak mendengarkan dengan saksama setiap keluhan dari rombongan PSHT. Ia mengakui langkah organisasi itu sebagai bentuk kedewasaan hukum.

“Kami menghormati langkah PSHT yang datang membawa dasar hukum,” kata Rifa’i.

“Aspirasi ini akan kami akomodasi. DPRD akan memanggil pihak-pihak terkait, termasuk KONI, agar masalah ini segera mendapat jalan keluar," tambahnya.

Menurutnya, setiap atlet Blitar tanpa memandang organisasi berhak atas kesempatan yang sama untuk berprestasi.

“Selama mereka membawa nama daerah, mereka berhak atas dukungan yang setara. Kita tidak boleh membeda-bedakan,” tegasnya.

Rifa’i juga menyinggung pentingnya keterlibatan lembaga daerah dalam menata kembali pembinaan olahraga yang inklusif.

“Ini bukan sekadar soal legalitas, tapi tentang keadilan,” katanya.

Bagi PSHT, langkah ke DPRD bukan sekadar silaturahmi. Ini adalah bentuk advokasi sosial dan simbol perlawanan yang tenang terhadap ketidakadilan sistemik.

Organisasi yang berdiri di bawah semboyan Persaudaraan, Olahraga, dan Kerohanian itu mencoba membuka ruang dialog, bukan konfrontasi.

Mereka sadar, jalan menuju pengakuan penuh tidak bisa ditempuh dengan otot semata, melainkan dengan bukti hukum dan kesabaran.

“Kami datang dengan kepala tegak, bukan tangan mengepal,” kata salah satu pengurus yang ikut mendampingi Bagas. “Kami percaya, keadilan akan datang bagi mereka yang sabar dan tertib," tambahnya.

PSHT memiliki akar panjang di tanah Jawa, dengan sejarah yang sarat nilai persaudaraan dan perjuangan moral. Di Blitar, organisasi ini bukan hanya tempat berlatih jurus, tapi juga ruang pembinaan karakter generasi muda, terutama di pedesaan.

Kangmas Bagas menyebut, banyak anggotanya yang justru menjadi agen damai di masyarakat, membantu pemerintah desa dalam kegiatan sosial, dan menjaga ketertiban lingkungan.

“Silat bagi kami bukan tentang menjatuhkan lawan, tapi menegakkan kebenaran,” ujarnya.

Karena itu, perjuangan mereka menembus pintu KONI dianggap simbolis: bukan sekadar soal tiket kejuaraan, tetapi juga pengakuan atas kontribusi PSHT bagi daerah.

Langkah PSHT Blitar menempuh jalur hukum dan politik daerah menandai babak baru relasi organisasi masyarakat dengan pemerintah. Di masa lalu, hubungan antara kelompok silat dan institusi negara kerap diwarnai ketegangan.

Kini, pendekar PSHT datang dengan SK dan surat resmi, bukan atribut perlawanan.

“Ini bentuk kedewasaan baru,” kata seorang anggota dewan yang hadir dalam pertemuan itu. “Organisasi silat mulai menempuh jalur konstitusional untuk memperjuangkan haknya," sebutnya.

Waktu akan membuktikan apakah pintu yang mereka ketuk hari itu benar-benar akan terbuka.

Namun bagi Kangmas Bagas, kunjungan ke DPRD adalah awal dari sebuah perjuangan yang lebih besar: perjuangan untuk diakui, bukan ditakuti; dihormati, bukan disisihkan.

“Kami percaya, persaudaraan akan selalu menemukan jalannya,” katanya menutup pertemuan. (*)

Tombol Google News

Tags:

PSHT PSHT cabang Kabupaten Blitar Blitar Kabupaten Blitar DPRD Legalitas atlet