Potret Komparatif Koperasi Unit Desa

22 Juli 2025 20:20 22 Jul 2025 20:20

Thumbnail Potret Komparatif Koperasi Unit Desa
Oleh: Muhammad Sirod*

Lahirnya KUD pada 1970-an berangkat dari program restrukturisasi koperasi yang diwujudkan melalui SKB Tiga Menteri tahun 1973, yang menetapkan unit koperasi serba‐usaha di tingkat desa sebagai simpul distribusi sarana produksi dan penyerapan hasil panen. Model ini dirancang untuk menggantikan koperasi kecil yang tercecer agar petani memperoleh akses pupuk, benih, serta jaminan pembelian gabah oleh Bulog. 

Pada fase kejayaannya di akhir 1980-an, KUD berfungsi ganda: penyedia “lumbung desa” sekaligus kolektor gabah pemasok Bulog. Sementara Bulog mendapat kepastian pasokan, petani menikmati harga floor dan kepastian pembelian. Namun deregulasi perdagangan beras dan melemahnya peran Bulog sejak reformasi 1998 menggerus relevansi fungsi klasik tersebut, memaksa KUD merambah usaha baru untuk bertahan.

Secara garis besar KUD pasca 1998 mulai berakhir kejayaannya karena: faktor eksternal yaitu karena tekanan IMF di mana pemerintah dipaksa mengurangi peran negara dalam pengelolaan pangan dan pertanian (Pikiran Rakyat, 2025); subsidi dicabut dan liberalisasi ekonomi diterapkan (espos.id, 2025) sebagai syarat mendapat pinjaman dari IMF; munculnya Inpres No. 18 Tahun 1998 yang memberikan keleluasaan masyarakat mendirikan koperasi sesuai aspirasi (UGM.ac.id, 2025), sehingga KUD tidak lagi menjadi koperasi tunggal di tingkat kecamatan. 

Sementara faktor internal antara lain: dicabutnya hak monopoli distribusi pupuk bersubsidi yang selama ini menjadi sumber pendapatan utama KUD (Dania, 2013); mental ketergantungan terhadap bantuan pemerintah yang membuat KUD tidak memiliki daya berdikari dan tentu saja lemahnya manajemen dan sistem operasional yang tidak profesional (Ariyani, 2021). 

Studi lintas wilayah terhadap Koperasi Unit Desa (KUD) di Indonesia memunculkan gambaran kontras yang menarik: ada yang menonjol sebagai aktor ekonomi modern; sementara yang lain terseok menghadapi gelombang transformasi ekonomi pedesaan pasca Orde Baru (orba).

Dari Jambi ke Riau, dari Jawa Tengah ke Sumatera Utara, masing-masing KUD membawa kisah berbeda soal kelincahan bertahan dan menyiasati tantangan lokal yang unik. Bagaimanapun banyak yang berujar kegagalan KUD di era orba, kerangkanya masih memberi landasan institusional yang masih terasa hingga kini, terutama dalam pola kemitraan dengan pemerintah dan sektor agroindustri.

Model Bisnis dan Kinerja Keuangan

Kajian penelitian disertasi Aprianti (2021) menyebutkan bahwa sebaran KUD di Indonesia ternyata tidak merata. Provinsi Jambi, misalnya, menjadi salah satu episentrum koperasi dengan 252 KUD aktif (BPS 2020), sebagian besar bertumpu pada kelapa sawit. 

Di Muaro Jambi, Kecamatan Sungai Gelam menjadi contoh mikroekosistem koperasi sawit yang hidup, dengan delapan KUD seperti Manggar Jaya, MISM, dan Karya Mandiri, yang semuanya mengandalkan usaha Tandan Buah Segar (TBS). Kesamaan fokus usaha ini, meskipun memudahkan perbandingan, juga membuka kerentanan terhadap gejolak pasar komoditas tunggal.

Di sisi lain, KUD di Riau menunjukkan keragaman yang lebih besar. KUD Tunas Muda dan Karya Maju masih serupa dengan model Jambi, namun KUD seperti Mekar Abadi dan Mulia mulai menggabungkan layanan keuangan mikro dan sektor pertanian, menyiratkan usaha untuk tidak menaruh semua telur dalam satu keranjang (Aswoko, et. al., 2015). 

Kinerja keuangan KUD mencerminkan ketimpangan yang cukup mencolok. KUD Suka Makmur, misalnya, hanya mencatat Tingkat Pengembalian atas Aset atau Return on Asset (ROA) rata-rata 3,06% dalam lima tahun terakhir. Angka yang jauh dari ambang ideal koperasi. ROA merupakan salah satu rasio keuangan yang digunakan untuk mengukur kemampuan lembaga usaha seperti koperasi dalam menghasilkan keuntungan dari seluruh aset yang dimilikinya.

Penurunan tajam ke 0,72% pada 2022 menandakan tekanan struktural, bukan sekadar musiman. Bandingkan dengan KUD Makarti di lokasi serupa, yang ROA-nya mencapai 6,91%. Sebuah indikator bahwa manajemen dan strategi memegang peran sentral, bahkan lebih dari lokasi (Siahaan et.al, 2024).

Di Tebing Tinggi, KUD Sawit Mandiri menunjukkan performa lebih baik (ROA 8,64%), sementara di Riau, KUD Tandan Mas Jaya terbukti konsisten mencetak laba yang stabil. Fluktuasi SHU yang dialami KUD Mulia (dari Rp 265 juta ke Rp 783 juta dalam dua tahun) menunjukkan bahwa bukan hanya keberuntungan yang bermain, tetapi juga kemampuan manajemen membaca tren (Fitriyana et.a., 2023).

Soal ROE, polanya agak mengejutkan. Meski ROA rendah, KUD Suka Makmur tetap mampu menjaga ROE yang wajar. Hal ini menandakan penggunaan modal yang cukup efisien. Namun, tetap saja, mayoritas KUD masih terpaku dalam zona “kurang sehat” menurut standar Kementerian Koperasi.

KUD dengan rasio lancar sangat tinggi seperti KUD Kenanga (383%) tampak sehat di atas kertas, tapi justru mengindikasikan dana menganggur yang tak dimanfaatkan optimal. Sementara itu, KUD Karya Kita di Merlung dengan current ratio di bawah 60% menghadapi ancaman likuiditas nyata. Di antara dua kutub ini, KUD di Sungai Gelam menawarkan gambaran yang lebih moderat namun tetap di bawah ideal.

Struktur permodalan juga bervariasi tajam. Ada yang agresif berekspansi dengan utang tinggi seperti KUD Sari Bumi (kenaikan utang 16% per tahun), tapi ada pula yang memilih jalan konservatif seperti KUD Bukit Manunggal. Keseimbangan antara leverage dan keberanian ekspansi menjadi titik krusial. Salah-salah langkah bisa mengubah KUD menjadi beban sosial, bukan kekuatan ekonomi (Hasanah et. al, 2021) (Ambarwati, et.a., 2015).

Monokultur vs Diversifikasi: Mana yang Lebih Tahan Banting?

KUD yang fokus pada TBS memang efisien dari sisi spesialisasi, namun rapuh menghadapi gejolak harga komoditas. Sebaliknya, KUD seperti Suka Makmur yang punya enam unit usaha: dari UKM Mart hingga pasar tradisional yang justru harus menghadapi margin yang makin menipis, terlihat dari anjloknya SHU mereka. Ini menunjukkan bahwa diversifikasi tanpa efisiensi justru bisa jadi bumerang.

Menariknya, KUD Eko Karyo Mino dari Jepara berhasil menjalankan diversifikasi sektor perikanan dengan cukup sukses. Mereka bahkan mengintegrasikan sistem pembayaran digital untuk layanan PLN, sebuah lompatan kecil yang mencerminkan semangat besar untuk berinovasi (Silviyani, 2024).

Kinerja KUD juga dipengaruhi oleh konteks daerah. Pemerintah Jambi, misalnya, aktif mendorong koperasi lewat program Koperasi Desa Merah Putih. Fasilitas seperti pupuk bersubsidi dan koneksi ke perusahaan sawit menjadi pembeda nyata dengan daerah seperti INHU, Riau, yang infrastrukturnya masih tertinggal.

Ketergantungan pada sawit membuat banyak KUD rawan. KUD Suka Makmur menunjukkan performa buruk ketika harga TBS turun, sedangkan KUD Sawit Mandiri lebih siap berkat kontrak forward dan diversifikasi buyer. Kontrasnya lagi, KUD berbasis perikanan seperti Eko Karyo Mino lebih tahan terhadap gejolak, meskipun tetap tak kebal dari musim.

Manajemen Risiko dan Regenerasi: Pilar Masa Depan

Beberapa KUD mulai menerapkan strategi mitigasi risiko, termasuk cadangan operasional dan sistem kontrak. Namun masalah klasik seperti piutang macet dan kelemahan dalam manajemen kas masih menghantui. Regenerasi kepemimpinan juga jadi isu krusial. Banyak KUD masih dikendalikan generasi orba, membuat adopsi teknologi berjalan lamban.

Mayoritas KUD masih berada di bawah standar kesehatan keuangan menurut Permenkop No. 06/2016. Bahkan yang punya ROE baik pun tak lantas bebas dari masalah transparansi dan akuntabilitas. Modernisasi pencatatan keuangan dan transisi ke sistem akuntansi yang lebih formal seperti SAK ETAP (Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik) mulai terlihat, tapi jalannya masih panjang.

Kemitraan dengan BUMDes dan korporasi sawit menjadi harapan baru. KUD yang terlibat dalam skema plasma atau proyek desa bisa menikmati stabilitas harga dan efisiensi logistik. Penggunaan teknologi seperti blockchain untuk traceability juga membuka peluang ekspor bernilai tambah.

Inovasi finansial mulai menyusup, dari simpan-pinjam hingga eksplorasi pembiayaan digital lewat fintech. Model crowdfunding yang sejatinya adalah jati diri dari koperasi itu sendiri dapat diperluas untuk pembiayaan proyek dengan sumber pendanaan dari internal anggota atau jejaring koperasi yang ada, untuk proyek dan pekerjaan jangka pendek berisiko rendah. Tentunya inovasi ini harus diiringi dengan transparansi dan reformasi tata kelola yang serius.

KUD yang berhasil di masa depan adalah mereka yang bisa menyeimbangkan nilai gotong royong dengan tuntutan pasar modern. Transformasi digital dan integrasi rantai pasok bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Tapi jika perubahan ini melupakan akar sosial koperasi, maka kita tak ubahnya mengganti ruh dengan mesin.

Penelitian Riswan et. al. (2017) menelaah 25 KUD di Banyumas menemukan bahwa hanya 15 yang tersisa masih aktif itupun sebagian besarnya dalam kondisi keuangan yang buruk. Penelitian ini menemukan KUD Aris menjadi model sukses dengan manajemen modern, inovasi bisnis, dan SDM yang baik. Langkah-langkah revitalisasi meliputi: reaktivasi dan merger KUD yang tidak aktif, restrukturisasi organisasi, serta penguatan bisnis melalui pelatihan, pemberdayaan anggota, penguatan jaringan, strategi bisnis, dan sistem kontrol manajemen. 

KUD masih punya peluang untuk berperan sebagai motor pembangunan pedesaan yang inklusif. Namun jendela itu tidak akan terbuka selamanya. Modernisasi harus digarap dengan cermat, agar koperasi tak hanya bertahan, tapi juga tumbuh sebagai kekuatan ekonomi rakyat yang relevan dan tangguh.

*) Muhammad Sirod merupakan Fungsionaris Kadin Indonesia; Ketum HIPPI Jaktim

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Muhammad Sirod KUD Koperasi Unit Desa