KETIK, JOMBANG – Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal pabrik tahu di Kecamatan Jogoroto, Jombang, yang ditandai dengan peletakan batu pertama pada Selasa, 16 September 2025 lalu. Ternyata menyisahkan persoalan baru bagi tujuh petani di Desa Mayangan.
Diketahui, proyek pembangunan IPAL Komunal itu merupakan hasil sinergi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang, bersama Kementerian Lingkungan Hidup, PT Perusahaan Gas Negara (PGN), dan para pelaku usaha tahu di Kecamatan Jogoroto.
Akan tetapi proyek IPAL komunal pabrik tahu di Jogoroto, Jombang memunculkan residu bagi sebagian petani.
Area pertanian yang selama bertahun-tahun menjadi tumpuan hidup warga Desa Mayangan , Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang kini tak lagi utuh. Proyek pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pabrik tahu meninggalkan bekas pengerukan di lahan pertanian warga. Bahkan, hingga kini ganti rugi maupun kejelasan status tanah tak kunjung diberikan.
Salah satu pemilik lahan, Siti Aminah (55) menuturkan sawah miliknya dikeruk dengan ukuran sekitar 7 x 14 meter pada pertengahan 2024 lalu. Pengerukan itu terjadi tanpa sosialisasi maupun pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemilik lahan.
“Waktu itu tiba-tiba sudah dikeruk begitu saja. Sampai sekarang juga dibiarkan,” ujarnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jombang, Miftahul Ulum, beralibi jika kolam tersebut dibuat sebagai langkah kedaruratan untuk menampung limbah sementara agar tidak langsung mencemari sungai selama pembangunan IPAL belum rampung.
“Selama pembangunan IPAL belum selesai, supaya tidak membebani sungai, limbah diendapkan dulu di situ. Jadi itu bukan lokasi IPAL Komunal pabrik tahu,” ujar Ulum, Jumat 19 Desember 2025.
Ia memastikan, setelah proyek IPAL komunal selesai, kondisi lahan akan dikembalikan seperti semula.
Soal Ganti Rugi Lahan
Menanggapi keluhan warga terkait tidak adanya ganti rugi lahan, Ulum menyatakan bahwa pada saat pengerjaan dilakukan, status kepemilikan tanah masih belum jelas.
“Memang tidak ada ganti ruginya, karena waktu itu masih ragu-ragu apakah tanah tersebut milik pribadi atau milik BBWS. Informasi dari kepala dusun setempat menyebutkan tanah itu milik BBWS,” jelasnya.
Atas dasar tersebut, DLH Jombang kemudian bersurat secara resmi kepada Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) untuk meminta izin penggunaan lahan sebagai langkah darurat penanganan limbah pabrik tahu agar tidak mencemari aliran sungai.
Tujuh Lahan, Satu Dikompensasi
Ulum juga mengungkapkan, terdapat tujuh lahan yang terdampak dalam upaya penanganan limbah tersebut. Namun, hanya satu lahan yang mendapatkan kompensasi.
“Kalau yang saya tahu, kompensasi itu hasil patungan pelaku usaha pabrik tahu di wilayah setempat, untuk pembangunan lokasi IPAL Komunal yang dibiayai pemerintah pusat,” katanya memungkasi.
SPPT Tiba-tiba Menyusut
Selain persoalan galian pembuangan IPAL pabrik tahu di Kecamatan Jogoroto yang dibiarkan mengangga, muncul polemik baru SPPT milik salah seorang petani, Triwibowo tiba-tiba menyusut dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. “Ada yang mengklaim itu tanah sungai,” ungkapnya.
Merasa dirugikan, Triwibowo telah mendatangi Badan Pertanahan Nasional sejak 2024 untuk meminta pengukuran ulang. Namun hingga kini, belum ada hasil maupun kepastian.
“Kalau memang itu tanah saya, ya harus ada kejelasan dan ganti rugi,” tegasnya, Kamis,18 Desember 2025. (*)
