KETIK, PACITAN – Berbagai kepentingan antar sektor di kawasan pesisir Pantai Teleng Ria, Kabupaten Pacitan, terungkap saling tumpang tindih.
Temuan ini disampaikan oleh Peneliti dari Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya, Dr. Agus Wahyudi, S.IP., M.IP dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Model Resolusi Konflik Pemanfaatan Ruang Pesisir di Pantai Teleng Ria Kabupaten Pacitan dengan Pendekatan Sosio-Spasial” di Ruang Rapat Bappedalitbang Pacitan, Selasa, 28 Oktober 2025.
Menurut Dr. Agus, konflik pemanfaatan ruang di Teleng Ria tidak hanya bersumber pada batas fisik wilayah, tetapi juga perbedaan kepentingan, kebijakan, dan persepsi sosial antar pihak yang berkegiatan di kawasan tersebut.
“Problemnya itu ada dua. Pertama, persoalan parkir kapal. Teleng Ria dikelola oleh swasta bekerja sama dengan Eljhon selama 30 tahun. Nah, saat musim ikan, kapal dari luar daerah seperti Sulawesi dan Pekalongan banyak yang parkir di pantai, padahal itu zona wisata, bukan zona perikanan. Lahan parkir sempit, akhirnya melebar ke area wisata,” ujarnya.
Ia menambahkan, konflik kedua terkait praktik pembenuran (penangkapan benur/baby lobster) yang hingga kini belum tuntas.
“Masyarakat Pacitan ingin meningkatkan pendapatan dari benur karena hasil tangkapan ikan tidak selalu besar. Dari situ, benur menjadi salah satu jalan meningkatkan ekonomi mereka,” kata Agus.
Selain dua hal itu, ia juga menyoroti masalah sosial akibat masuknya nelayan luar daerah.
“Banyak kapal dari luar membawa anak buah kapal (ABK) luar Pacitan. Akibatnya muncul persoalan sosial seperti hubungan tidak resmi. Nah, dari situ penelitian ini berangkat, untuk mencari solusi yang bisa diterima semua pihak,” lanjutnya.
Para peserta Focus Group Discussion (FGD) membahas model resolusi konflik pemanfaatan ruang pesisir Pantai Teleng Ria di Ruang Rapat Bappedalitbang Pacitan, Selasa, 28 Oktober 2025. (Foto: Al Ahmadi/Ketik)
Tawaran Solusi: Coastal Space Agreement
Sebagai jalan keluar, tim peneliti mengusulkan Coastal Space Agreement atau Kesepakatan Ruang Pesisir.
Model ini mendorong terbentuknya kesepahaman antara pihak pemerintah, pelaku usaha, masyarakat pesisir, dan akademisi.
Guru Besar Universitas Hang Tuah Surabaya, Prof. Dr. Agus Subianto, M.Si., menyebut model ini sebagai wadah dialog lintas sektor.
“Pemerintah berperan sebagai fasilitator, masyarakat pesisir berperan aktif dalam pengelolaan, sementara akademisi menyusun dasar pengetahuan dan rekomendasi kebijakan,” tuturnya.
Menurutnya, hasil FGD ini diharapkan menjadi masukan penting bagi pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan tata ruang pesisir yang adil, partisipatif, dan berkelanjutan.
“Harapannya dari penelitian ini, kebijakan pemerintah harus kolaboratif. Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Apapun itu, negara harusnya hadir untuk mensejahterakan rakyatnya,” pinta Dr. Agus.
FGD tersebut difasilitasi oleh Bappedalitbang Pacitan dan dihadiri sejumlah pemangku kepentingan, mulai dari DPRD, Dinas PUPR, Dinas Perikanan, Dinas Pariwisata, Lanal Pacitan, UPT Pelabuhan Perikanan Tamperan, pelaku usaha, hingga perwakilan masyarakat pesisir.(*)
