Merawat Pengkhianat di Hari Pahlawan

8 November 2025 19:40 8 Nov 2025 19:40

Thumbnail Merawat Pengkhianat di Hari Pahlawan
Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *)

Tanggal 10 November 2025, angka di kalender tidak bertulis merah. Namun semua orang tahu, itu adalah hari Pahlawan. Momentum rutinitas yang begitu saja melintas. Miskin pesan, sedikit orang menimba kesan.

Beberapa forum diskusi mencoba memberikan apresiasi soal kepahlawanan. Menggali memori, mengungkap cerita figur pejuang. Tak lebih seperti fiksi tentang nabi-nabi. Dibawa dalam peradaban kini. Diputar kembali dengan menegasikan anasir fakta-fakta aktual terjadi.

Seperti gelaran wayang kulit. Para pahlawan itu dimunculkan ulang. Ditancapkan pada media batang pisang. Khalayak diperintah mendengar beragam ulasan. Sang dalang duduk sila bercerita. Mendongengkan darah dan nanah. Dengan harapan penonton berimajinasi untuk mencatat petuah. 

Materinya itu-itu saja sejak penonton belajar di sekolah dasar hingga zaman sudah hingar bingar. Dalang merasa  puas ketika orang merespons dengan tepuk tangan. Kata sang dalang, yang penting sudah tuntas saya ceritakan.

Terutama perihal etos dan etis perjuangan pahlawan. Di luar kepala, penonton menyimpan kembali potret diri: Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien, Patimura, RA Kartini hingga pahlawan revolusi. Setelahnya pulang kembali.

Pemahaman pahlawan secara konvensional harus dibongkar ulang. Pahlawan hakikatnya bukan semata soal figur. Pahlawan itu soal nilai. Nilai merupakan sesuatu yang tidak kasat mata. Bicara nilai, identik dengan akumulasi beragam sikap. Agung dan luhur. Terintegrasi menjadi aksi berani melawan ketidakadilan. Tak peduli dengan konsekuensi. Cuek dengan pengakuan. Apalagi hanyut akan pujian yang sebenarnya manipulatif.

Pahlawan identik dengan perjuangan yang penuh integritas. Berkorban untuk kepentingan banyak orang. Berani menanggung resiko. Getol menanam manfaat tanpa pretensi korup bagi diri dan sejawat.

Pahlawan di era kekinian tak butuh sanjungan. Apalagi dukungan untuk mendapat beslit pengakuan. 
Pahlawan itu bukan soal teks, tapi spirit yang berkorelasi dengan konteks. Kecerdasan masa lalu pahlawan, tidak serta-merta bisa bersenyawa dengan kebutuhan jaman yang terus berkembang.

Akurasi perjuangan pahlawan di masanya, tentu tidak bisa digaransi mampu menjawab problema sekarang sebagai realita. Kebesaran Soekarno tidak mungkin cocok memimpin di era Prabowo. Prestasi Kartini waktu itu, tentu tidak mesti pas di era Gen-Z. Karenanya abstraksi nilai kejuangan menjadi esensi peringatan hari pahlawan kini dan mendatang. 

Orang-orang penting di negeri ini tengah berdesakan memilih dan mengusulkan nama-nama untuk ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional. Padahal andaikata masih hidup, nama-nama yang diusulkan itu tidak akan berkenan. Keberadaan pahlawan dilekatkan dengan ukuran selembar kertas. Kadang juga untuk kepentingan elektabilitas.

Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ya. Semua orang tidak hanya tahu, tapi juga merasakan sebagai fakta. Fakta tidak butuh upaya untuk dijelaskan. Apalagi diberikan bumbu teori yang sudah usang. Atribut paradikmatis tentang pahlawan mendesak untuk dibongkar. Pahlawan di jaman Gen-Z sekarang bukan lagi identik dengan kain merah putih di kepala dan serangkaian imajinasi merobek bendera penjajah, sembari meneriakkan takbir.

Pahlawan di era kekinian merupakan soal substansi. Ada di sekitar kita. Bisa tokoh masyarakat, seniman, pendidik, akademisi, aparatur penegak hukum, birokrat, buruh perusahaan, aktifis sosial, agamawan, mahasiswa, wakil rakyat bahkan kepala daerah. Konteksnya, tak jauh dari berbagai isu strategis tentang korupsi, kemiskinan, pemberdayaan perempuan, pendidikan, lingkungan hidup, pers, penegakan hukum dan sebagainya.

Muncul Pahlawan karena Ada Pengkhianat

Jangan lupa, ketika bicara pahlawan sebagai literasi maka keberadaannya tidak lepas dari dualitas.  Konsep terang karena ada gelap. Muncul Pahlawan karena ada pengkhianat. Orang mengapresiasi sikap kepahlawanan karena keluhuran sikap atas nilai yang melekat pada pribadi pahlawan. Menginternalisasi nilai-nilai yang dipancarkan figur. Mengimplementasikan dalam lingkup komunitas sebagai inisiasi perubahan.

Namun metode internalisasi kepahlawanan yang terjadi sekarang justru menutup pemahaman akan dokumentasi perilaku jahat pengkhianat. Khalayak melihat pahlawan dalam perspektif tunggal. Sebagai entitas personal yang positif.

Pada akhirnya orang tidak memiliki referensi soal amoral, imoral, destruktif, kontra produktif, modus operandi, dis-integritas, hilangnya rasa malu, rasa bersalah, makar dan sebagainya.

Pada gilirannya orang tidak memiliki kendali untuk mencegah terjadinya prilaku a-sosial dan a-norma. Tidak memiliki rem yang pakem untuk tidak menggerogoti uang negara. Tidak memiliki komitmen menanam manfaat. Semua aktifitas diwarnai krisis rasionalitas.

Apalagi dalam kondisi serba keterbatasan dewasa ini. Rasional terkubur oleh emosional yang melahirkan loyalitas kontraktual dengan menghalalkan segala cara. Seorang kepala daerah yang dielukan saat berproses karena menjanjikan kesejahteraan rakyat, tidak menutup kemungkinan waktu berikutnya menjadi pengkhianat karena menggarong uang rakyat. 

10 November adalah Hari Pahlawan. Sementara orang tidak mengenal para pengkhianat bangsa ini. Pengkhianatan tidak harus dalam bentuk fisik. Koruptor, pelaku kebohongan publik, jelas pengkhianat bangsa. Tidak cukup untuk disebut satu persatu untuk menunjuk person. Pengkhianat bangsa selalu ada setiap zaman. Mulai Kapitan Jonker, Jesajas Pongoh hingga para teroris dan koruptor di jaman kini. 

Hari Pahlawan pada dasarnya bukan untuk menghafal nama-nama pahlawan. Hari pahlawan adalah momentum merawat ingatan agar prilaku pengkhianat NKRI tidak terulang kembali. Karenanya, tidak berlebihan saat hari pahlawan juga merupakan wahana ‘merawat para pengkianat’ agar negeri ini bersih dari perilaku jahat.

Ingat, di negeri ini orang-orang sudah mulai cerdas. Mampu membedakan mana yang menghina merah putih dan mana yang mencintai. Jika yang menghina merah putih merupakan orang jahat,  lantas siapa yang masuk kategori pengkianat? Mereka yang merobek merah putih ataukah mereka yang menjual tambang ke pihak asing? Selamat Hari Pahlawan. (*)

*) Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med adalah Akademisi FH Unej dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI Jember).

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

Merawat PENGKIANAT hari PAHLAWAN Dr. Aries Harianto S.H. M.H C.Med Hari Pahlawan