KETIK, SURABAYA – Pernah nggak sih kalian merasa dekat dengan seseorang yang belum pernah kalian temui secara langsung? Kalian tahu kebiasaannya, selera humornya, makanan kesukaannya, seolah-olah sudah menjadi bagian hidupnya, padahal perasaan dekat ini hanya berjalan satu arah.
Jika pernah, hal itu disebut parasocial relationship, fenomena yang dulu hanya muncul antara penonton dan bintang televisi, tapi kini berkembang pesat di era media sosial.
Dilansir dari alodokter, parasocial relationship atau hubungan parasosial yakni suatu kondisi yang menggambarkan hubungan satu sisi antara pengguna media (penggemar) dan persona media (idola) seperti selebritis, idol, influencer bahkan karakter animasi.
Istilah hubungan parasosial pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog Donald Horton dan Richard Wohl pada tahun 1950-an. Kala itu, mereka meneliti bagaimana penonton televisi merasa seperti memiliki hubungan dengan bintang di televisi, entah itu penyiar atau selebritis.
Seiring waktu, konsep itu berkembang jauh melampaui televisi, terlebih di era modern dimana media sosial berkembang pesat seperti saat ini. Media sosial menciptakan ruang bentuk baru dari kedekatan ini.
Melalui unggahan, siaran langsung, bahkan komentar yang diunggah di media sosial, para pengguna media ini merasa semakin dekat dengan para idolanya dan membuat hubungan satu arah itu terasa semakin nyata.
Di satu sisi, hubungan parasosial ini dapat memberi kenyamanan bagi mereka yang kesepian, bahkan bisa menjadi inspirasi, motivasi, bahkan dukungan emosional. Sosok yang hadir di layar seakan hadir sebagai teman yang selalu ada bagi mereka.
Namun di sisi lain, hubungan parasosial ini juga memiliki dampak negatifnya, lho! Ketika batas antara ‘terhubung’ dan ‘bergantung’ mulai kabur, muncul risiko emosional yang tak disadari.
Seperti yang terjadi di kebanyakan idola pop, penggemar mulai merasa kecewa saat muncul berita asmara atau kurang aktif dalam update di media sosialnya. Jika sudah seperti itu, perasaan nyaman akan berganti menjadi perasaan kehilangan yang terasa nyata, meskipun sejak awal tak pernah ada hubungan dua arah.
Selain itu, hubungan parasosial juga dapat menimbulkan harapan yang tidak realistis akibat terlalu sering menempatkan diri sendiri ‘di sisi’ idola. Lebih ekstrem, hubungan parasosial juga dapat menimbulkan perasaan obsesif dan melakukan tindak kriminal seperti menguntit terhadap idolanya.
Ikatan emosional yang mendalam dengan idola juga dapat menimbulkan rasa empati yang berlebihan terhadap setiap hal yang terjadi pada idolanya, dan dapat berpengaruh kepada suasana hati.
Pada intinya, penggemar yang memiliki hubungan parasosial dengan idolanya tidak menganggap idolanya sebagai persona media saja, namun sosok yang ia kenal secara dekat meskipun tidak pernah bertemu bahkan berinteraksi secara langsung.
Inilah mengapa kita harus memiliki batasan saat menyukai idola. Meski hubungan parasosial tidak selalu berbahaya, jika berlebihan bisa menimbulkan dampak negatif dan bahkan mengarah pada kondisi seperti erotomania. Jadi, jangan berlebihan saat menyukai sesuatu ya, karena semua hal yang berlebihan itu tidak baik! (*)
