KETIK, JAKARTA – Gangguan koneksi internet massal yang terjadi Selasa, 18 November 2025, sukses membuat jutaan pengguna frustrasi karena beragam aplikasi populer dan situs web mendadak tidak bisa diakses secara bersamaan.
Namun, biang keladi dari kekacauan ini bukanlah kerusakan pada aplikasi-aplikasi tersebut, melainkan tumbangnya sebuah infrastruktur raksasa bernama Cloudflare.
Bagi masyarakat awam, nama ini mungkin terdengar asing, padahal Cloudflare sejatinya adalah "tulang punggung" internet yang berfungsi sebagai jembatan antara pengguna dan server situs web, menyediakan layanan pengiriman konten (Content Delivery Network) serta keamanan siber bagi jutaan platform di seluruh dunia.
Untuk memahami betapa vitalnya peran layanan ini, bayangkan Cloudflare sebagai "polisi lalu lintas" atau satpam di sebuah gerbang perumahan elit.
Saat Anda mengakses sebuah situs atau aplikasi, Anda tidak langsung masuk ke server utama, melainkan diperiksa terlebih dahulu oleh satpam ini.
Cloudflare bertugas mempercepat akses dengan mengirimkan data dari lokasi terdekat pengguna sekaligus menghalau serangan siber yang berbahaya.
Ketika sistem Cloudflare mengalami gangguan teknis seperti kemarin, ibarat satpam tersebut tiba-tiba pingsan dan gerbang utama terkunci rapat. Akibatnya, tidak ada lalu lintas data yang bisa masuk atau keluar, dan pengguna hanya melihat pesan error seperti “502 Bad Gateway” karena jembatan penghubung ke situs tujuan terputus total.
Skala gangguan ini terasa begitu masif dan meluas karena Cloudflare merupakan salah satu penyedia layanan jaringan terbesar di dunia yang menjadi sandaran bagi portal berita, e-commerce, hingga layanan perbankan.
Insiden ini menjadi pengingat keras bahwa sentralisasi infrastruktur internet memiliki risiko tersendiri.
Ketergantungan yang tinggi pada satu pihak menyebabkan efek domino yang fatal; ketika satu penyedia layanan raksasa seperti Cloudflare "batuk" atau mengalami gangguan, maka sebagian besar dunia maya ikut "demam" dan lumpuh seketika.
