Menata Ulang Rivalitas Sepak Bola setelah Tragedi Kanjuruhan

1 Oktober 2025 07:00 1 Okt 2025 07:00

Thumbnail Menata Ulang Rivalitas Sepak Bola setelah Tragedi Kanjuruhan
Oleh: Indhar Wahyu Wira Harjo*

Pada 1 Oktober 2022 terjadi tragedi di Stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang yang tercatat dalam sejarah dunia. Berdasarkan Laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang (TGIPF,) pada malam itu terdapat 135 korban meninggal. 

Peristiwa itu merupakan tragedi terbesar ketiga dalam sejarah sepak bola dunia setelah bencana serupa di Lima (Peru) tahun 1964 dengan 326 korban jiwa dan Accra (Ghana) pada tahun 2001 yang merenggut 126 nyawa.

Perubahan-perubahan konkret

Para pihak telah melakukan upaya-upaya konkret setelah Tragedi Kanjuruhan. Kesigapan pemerintah membentuk TGIPF, termasuk restrukturisasi Stadion Kanjuruhan bisa dipertimbangkan sebagai upaya serius untuk pembenahan pengelolaan industri sepak bola.

Selain itu, langkah PSSI melarang Arema FC menyelenggarakan pertandingan di Stadion Kanjuruhan selama tiga tahun juga dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki iklim kompetisi sepakbola Indonesia.

Telah tampak pula upaya Aremania untuk memperbaiki atmosfer sepakbola. Pembenahan itu tampak dalam pembentukan Presidium Aremania pada Juni 2024. Pembentukan lembaga itu sekaligus perwujudan dari Undang-Undang Keolahragaan tahun 2022 yang mengatur suporter agar mendaftarkan diri menjadi anggota organisasi atau badan hukum. 

Hal itu berkesinambungan dengan penggunaan Kartu Tanda Anggota yang dilengkapi asuransi sebagai syarat bagi Aremania yang menyaksikan pertandingan di Stadion Kanjuruhan mulai musim ini. 

Perbaikan juga tampak dalam pengelolaan pertandingan di Stadion Kanjuruhan. Sejak musim 2025/2026, Arema FC menerapkan distribusi tiket penonton menggunakan aplikasi dan website yang memungkinkan metode one ticket one person di setiap pertandingan kandangnya. Perbaikan itu dilengkapi pula dengan sistem pengamanan berlapis di setiap pertandingan.

Secara teknis, kompetisi sepakbola Indonesia juga telah melakukan pembenahan. PSSI telah menggunakan Video Assistant Referee (VAR) mulai musim 2024/2025. Kompetisi Liga Super Indonesia juga secara konsisten menggunakan wasit-wasit asing berlisensi internasional. Perubahan-perubahan itu merupakan upaya konkret memperbaiki kompetisi sepak bola secara komprehensif yang layak diapresiasi.

Permasalahan yang tersisa

Para pihak telah mengupayakan perbaikan meski memunculkan berbagai ketidakpuasan. Ketidakpuasan itu mencakup kekecewaan tentang renovasi Stadion Kanjuruhan yang dinilai terlalu mahal, hukuman untuk panitia penyelenggara dan polisi yang terlalu ringan, larangan tandang untuk suporter sebagai kebijakan yang berlebihan, hingga keadilan untuk korban beserta keluarga yang masih jauh dari harapan.

Ketidakpuasan-ketidakpuasan itu memperlihatkan upaya pembenahan iklim sepakbola Indonesia belum optimal. Upaya-upaya itu belum komprehensif sebab kurang menyentuh dimensi pola pikir dan sikap para pihak terhadap rivalitas. 

Rivalitas dalam sepak bola merupakan salah satu ‘bumbu’ penting dalam kompetisi sepak bola. Harvard dkk. (2013) menjelaskan rivalitas dalam olahraga sebagai relasi permusuhan yang dinamis antara tim, pemain, atau kelompok penggemar. Permusuhan itu mencakup persaingan di dalam dan luar lapangan yang muncul karena kedekatan geografis, komposisi demografis, maupun kejadian historis.

Rivalitas dalam olahraga dapat memberikan nuansa konstruktif apabila dibandingkan dengan pertandingan biasa. Para pemain, pendukung, maupun pelatih bisa lebih bersemangat saat bertanding melawan klub rival. Di sisi lain, rivalitas juga memiliki dimensi destruktif yang mengancam sportivitas, kohesi sosial, bahkan nyawa.

Rivalitas destruktif itulah yang perlu diantisipasi dan diubah perlahan-lahan. Rivalitas yang memicu pemain mencederai lawan, menghalalkan segala cara untuk menang, maupun melakukan tindakan tidak sportif perlu diminimalisir. 

Rivalitas antarsuporter yang berujung kepada ujaran kebencian, intimidasi, hingga kekerasan fisik merupakan ekses rivalitas yang perlu dihindari. Meskipun demikian, penanganan rivalitas sepakbola perlu diperhatikan agar tidak mengedepankan dimensi represif dari pihak keamanan.

Strategi perubahan

Rivalitas destruktif telah mereduksi dimensi ludic (bermain-main; bersenang-senang) dalam pertandingan sepakbola. Johan Huizinga dalam bukunya ‘Homo Ludens’ (2014) menjelaskan manusia merupakan binatang yang bermain-main, sehingga permainan berperan penting dalam peradaban manusia. Manusia dan binatang sama-sama memiliki hasrat untuk bermain, namun manusia berbeda sebab mampu memberikan nilai-nilai sosial dalam permainannya. 

Sebagai gambaran, manusia dan anjing sama-sama gemar bermain bola. Anjing yang bermain bola menikmati kegiatan sebagai aktivitas fisik yang menyenangkan. Manusia juga bisa melakukan aktivitas serupa, namun mereka menambahkan nilai maskulin, sportif, bahkan nasionalis dalam permainan bolanya.

Pertandingan sepak bola, terutama pertandingan dengan rival, perlu dipertahankan dimensi ludic-nya. Selain itu, dimensi konstruktif dalam rivalitas juga perlu dikedepankan agar kompetisi berjalan menarik. Para pihak bisa melakukan hal-hal sederhana untuk menumbuhkan kegembiraan dan persaingan yang menarik itu.

PSSI melalui PT Liga Indonesia harus memfasilitasi para pihak untuk merasakan kegembiraan di setiap pertandingan. Para pelatih dan pemain perlu pula menjaga kegembiraan dengan jalan fokus pada teknik dan strategi permainan sepak bolanya.

Para suporter perlu menumbuhkan kesadaran bahwa pertandingan sepakbola itu untuk dinikmati kegembiraannya, meskipun pada momen tertentu tim kebanggaannya tidak mencapai hasil sesuai harapan. Para suporter juga dapat meningkatkan kegembiraannya dengan jalan mengkreasi yel-yel, koreografi, maupun tifo untuk membangkitkan semangat pemain yang didukung.

Media massa maupun para content creator sosial media juga memegang peran penting untuk menyebarluaskan kegembiraan secara edukatif, bukan provokatif. Kegembiraan juga perlu menjadi panduan bagi petugas keamanan. Para penonton harus diperlakukan sebagai orang-orang yang sedang bergembira, bukan orang-orang yang akan melakukan kerusuhan. 

Maka itu, mempertontonkan penggunaan kendaraan rantis, tameng besi, pentungan, dan gas air mata, dalam pengamanan pertandingan sepakbola perlu dikurangi. 

Dimensi ludic inilah yang dapat digunakan sebagai instrumen untuk mereduksi kekerasan di sekitar pertandingan sepakbola. Dimensi ini perlu dikembangkan agar peristiwa seperti Tragedi Kanjuruhan bisa dihindari di masa depan.

*) Indhar Wahyu Wira Harjo merupakan staf di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Tragedi Kanjuruhan Indhar Wahyu Wira Harjo