Melampaui Jerit Protes: Makna Tersembunyi di Balik Aksi Aliansi Jogja Memanggil

1 September 2025 22:01 1 Sep 2025 22:01

Thumbnail Melampaui Jerit Protes: Makna Tersembunyi di Balik Aksi Aliansi Jogja Memanggil
Poster dalam aksi unjuk rasa Jogja memanggil, tetap waspada 1312, sebuah code ACAB Akronim dari “All Cops Are Bastards,” isyarat reformasi kepolisian. (Foto: Teguh/ Ketik)

KETIK, YOGYAKARTA – Bagaikan mozaik dari ribuan kepingan, demonstrasi Aliansi Jogja Memanggil pada 1 September 2025 tidak hanya sebatas kerumunan yang berteriak di jalanan.

Di balik keriuhan spanduk dan orasi, tersimpan sisi humanis, artistik, dan intelektual yang jarang terlihat di permukaan. Gerakan ini bukan sekadar menuntut, tetapi menghadirkan “drama” sosial yang kompleks.

Aksi dimulai dari Bundaran UGM dengan orasi perwakilan mahasiswa UGM, UII, ISI Yogyakarta, serta elemen masyarakat lainnya. Narasi mereka tidak hanya disampaikan lewat kata-kata, tetapi juga diwujudkan dalam bentuk seni.

Poster dengan karikatur tajam yang menyindir pejabat menjadikan jalanan bak galeri seni. Puisi-puisi perjuangan pun dibacakan, mengubah suasana tegang menjadi reflektif. Riuh tepuk tangan peserta mengiringi setiap pembacaan karya.

Menurut juru bicara Aliansi Jogja Memanggil, Boengkoes, konsolidasi di Jalan Cik Di Tiro adalah aksi damai.

“Aliansi Jogja Memanggil adalah unjuk rasa tanpa anarki. Yang terjadi di Mapolda DIY kemarin adalah eskalasi kemarahan rakyat. Meski begitu, kami juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan,” ujarnya.

 

Kritik, Simbol dan Luka

Di antara poster yang dibawa mahasiswa, terpampang tulisan “Tetap Waspada 1312”, kode yang merujuk pada slogan ACAB (All Cops Are Bastards). Istilah ini memiliki sejarah panjang sejak 1920-an di Inggris, populer di era punk 1970–1980-an, dan kembali viral pada 2020 usai kasus George Floyd.

 

Foto Dreescode peserta unjuk rasa aliansi Jogja memanggil, baju warna cerah dengan payung hitam, yang seringkali menjadi simbol perlawanan damaiDreescode peserta Kepolisiaan Aliansi Jogja memanggil, baju warna cerah dengan payung hitam, yang seringkali menjadi simbol perlawanan damai. (Foto: Teguh/ Ketik) 

 

Kritik terhadap aparat semakin terasa setelah kabar duka meninggalnya Rheza Sendy Pratama, mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM angkatan 2023, saat aksi anarkis di depan Mapolda DIY. “Kematian teman kami ini adalah nyawa yang tak ternilai. Ia menjadi saksi bisu luka lama terhadap aparat kepolisian,” kata Boengkoes.

 

Tuntutan dan Maklumat Rakyat

Di Bundaran UGM, tuntutan yang diusung bukan sekadar luapan emosi. Poster-poster menegaskan isu seperti reformasi kepolisian, reforma agraria, penolakan kenaikan status kepahlawanan Soeharto, hingga gagalkan pemangkasan anggaran pendidikan.

Puncaknya, massa membacakan Maklumat Rakyat Jogja, berisi daftar tuntutan mulai dari penghapusan program “Makan Bergizi Gratis” yang dinilai korup, hingga desakan “Pecat dan adili Listyo Sigit Prabowo” serta “Prabowo–Gibran turun dari jabatan.”

Menurut Yulianto, alumni pascasarjana Arsitektur UGM, gerakan ini berbeda dari 1998, tetapi tetap punya musuh bersama: ketidakadilan.

 

Foto Unjuk rasa aliansi Jogja Memanggil di DPRD DIY, berlangsung  damai dikawal oleh TNI dari Tiga Matra (AD,AU dan AL) & aparat KepolisianUnjuk rasa Aliansi Jogja Memanggil di DPRD DIY, berlangsung damai dikawal oleh TNI dari Tiga Matra (AD,AU dan AL) & aparat Kepolisian. (Foto: Teguh/Ketik) 

 

“Kali ini kegelisahan lahir dari pengalaman pribadi. Mahasiswa takut dengan biaya pendidikan, buruh lelah menunggu upah naik, dan pejuang lingkungan resah karena tanahnya dirampas,” jelasnya.

 

Simbol Perlawanan Damai

Meski tuntutan keras digaungkan, aksi berjalan damai. Massa mengenakan pakaian cerah dan membawa payung hitam. Simbol itu melambangkan perlawanan damai sekaligus kesiapan menghadapi panas atau hujan. Pesan yang ingin ditunjukkan jelas: kekuatan tidak selalu lewat kekerasan, tetapi juga lewat solidaritas.

Pada waktu yang sama, unjuk rasa juga digelar di DPRD DIY dengan tuntutan serupa: pengesahan RUU Perampasan Aset, reformasi TNI-Polri, hingga penolakan kenaikan pajak.

Menariknya, kedua aksi berjalan lancar berkat pengamanan gabungan TNI dari tiga matra. Aparat kepolisian yang sebelumnya dikritik karena dugaan brutalitas, kali ini lebih persuasif. Interaksi demonstran dan aparat terlihat profesional, menunjukkan dialog bisa mencegah konflik.

 

Demokrasi dalam Aksi

Gerakan Aliansi Jogja Memanggil menjadi potret demokrasi yang hidup. Ia bukan sekadar daftar tuntutan, tetapi narasi rakyat tentang perjuangan, kekecewaan, dan harapan.

Peristiwa 1 September 2025 di Yogyakarta membuktikan, demokrasi bisa berjalan sehat ketika rakyat dan aparat sama-sama menempatkan kondusivitas serta martabat di atas segalanya. (*) 

Tombol Google News

Tags:

Aliansi Jogja memanggil Jogja istimewa demo mahasiswa Jogja 1312 ACAB UGM