Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang pemerintah sebagai salah satu instrumen peningkatan kualitas pendidikan kini menimbulkan paradoks.
Alih-alih menjadi solusi pemenuhan gizi siswa, di sejumlah daerah program ini justru melahirkan insiden keracunan massal. Ratusan siswa dilarikan ke rumah sakit setelah menyantap makanan dari dapur penyedia MBG.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar, sejauh mana negara memastikan aspek keselamatan dan kesehatan publik dalam implementasi program strategis.
Dari perspektif hukum tata negara, kasus ini menyentuh langsung prinsip tanggung jawab negara terhadap hak asasi warganya, khususnya hak atas kesehatan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
Dalam hukum pidana, kelalaian atau culpa dipahami sebagai perbuatan yang menimbulkan kerugian karena pelaku tidak menjalankan standar kehati-hatian yang semestinya.
Indikasi kelalaian dapat dilihat dari ketiadaan standar ketat keamanan pangan di dapur MBG, lemahnya pengawasan oleh Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi, distribusi makanan yang tergesa-gesa, serta minimnya sertifikasi tenaga pengolah makanan.
Unsur kelalaian ini tidak sekadar persoalan teknis, melainkan mengandung implikasi hukum serius. Negara, melalui pemerintah pusat maupun daerah, bisa dianggap abai dalam menjalankan kewajiban konstitusional menjamin kesehatan warganya.
Dalam teori hukum tata negara, terdapat prinsip tanggung jawab negara yang mengikat setiap kebijakan publik. Dalam konteks MBG, setidaknya ada tiga lapis kewajiban yang harus dipenuhi negara. Pertama, tanggung jawab konstitusional.
Hak atas kesehatan dan pendidikan bukan janji politik, melainkan mandat UUD 1945. Kegagalan program MBG yang menimbulkan korban berarti pelanggaran kewajiban negara memenuhi hak dasar warga.
Kedua, tanggung jawab administratif. Dari sisi tata kelola, penyusunan regulasi dan SOP MBG tampak lemah. Instrumen pengawasan tidak jelas, mekanisme evaluasi minim, dan standar penyedia jasa tidak transparan. Hal ini menunjukkan adanya maladministrasi yang dapat ditindaklanjuti melalui mekanisme Ombudsman.
Dari semua perspektif yang berkembang dimasyarakat, seluruh persyaratan dan legalitas dalam penyelenggaraan dapur seharusnya sesuai dengan tupoksi adanya Mitra.
Bilamana semua mekanisme dijalankan sesuai tupoksi, serta SLHS di penuhi, saya kira seluruh potensi masalah bisa di minimalisir.
*) Suad Bagiyo, S. H merupakan Kepala Desa Jarakan, Kecamatan Gondang Kabupaten Tulungagung
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
