Di tanah Aceh yang dikenal religius dan sarat nilai syariat, membangun masjid adalah ibadah mulia. Namun ketika ibadah bersentuhan dengan kebijakan publik, maka persoalannya tidak lagi sekadar soal niat, melainkan juga tentang kepatuhan terhadap hukum dan etika tata kelola.
Inilah yang kini terjadi di Nagan Raya, Aceh. Rencana Bupati TR Keumangan yang ingin mengalokasikan 80 persen dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk pembangunan Masjid Giok menuai pro dan kontra.
Di tengah dukungan emosional sebagian masyarakat, muncul suara tajam dan berani dari politisi muda PDIP, Rizki Julianda, yang menolak cara itu dengan alasan sederhana: “Jangan jadikan niat baik sebagai pembenaran untuk melanggar aturan.”
CSR: Amanah Undang-Undang, Bukan Celengan Politik
Dalam regulasi nasional maupun Qanun Aceh, dana CSR memiliki fungsi yang jelas: untuk pemberdayaan masyarakat, peningkatan kesejahteraan sosial, dan pelestarian lingkungan di sekitar wilayah perusahaan. CSR adalah tanggung jawab moral dan sosial korporasi kepada masyarakat, bukan sumber dana tambahan bagi ambisi pembangunan pemerintah.
Ketika 80 persen CSR diarahkan untuk satu proyek besar, sebesar apa pun nilai religiusnya, maka terjadi penyimpangan fungsi. Masyarakat di sekitar perusahaan akan kehilangan manfaat langsung yang menjadi hak mereka: bantuan ekonomi, pendidikan, kesehatan, hingga lingkungan hidup. Padahal, nilai keadilan sosial adalah esensi utama dalam pandangan Islam dan juga dalam filosofi CSR itu sendiri.
Aceh, sebagai daerah bersyariat, seharusnya menjadi contoh bagaimana hukum agama dan hukum negara berjalan beriringan dalam koridor kebenaran. Namun jika dana CSR dijadikan pembenaran atas nama agama, yang lahir justru paradoks moral: membangun rumah Allah dengan cara yang berpotensi menyalahi amanah publik.
Tantangan Pokir: Uji Nyali dan Keikhlasan Wakil Rakyat
Rizki Julianda tak sekadar menolak, ia menawarkan solusi: gunakan dana Pokok Pikiran (Pokir) anggota DPRK untuk membangun Masjid Giok.
Langkah ini bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga menyentuh inti persoalan dan keikhlasan. “Kalau benar niatnya ibadah, potong pokir, bukan potong CSR,” tantang Rizki.
Pernyataannya menampar kesadaran banyak pihak. Setiap anggota DPRK memiliki pokir sekitar Rp1 miliar per tahun. Jika seluruh 25 anggota termasuk pimpinan rela menyisihkan pokirnya, dana sekitar Rp30 miliar bisa terkumpul. Jumlah yang cukup untuk membangun masjid megah tanpa menabrak regulasi.
Lebih dari itu, Rizki bahkan siap tidak menggunakan pokir hingga 2029 demi Masjid Giok, asalkan seluruh dewan berani ikut. Tantangan ini bukan sekadar retorika politik, melainkan tes integritas dan moralitas pejabat publik Aceh, khususnya pejabat di Kabupaten Nagan Raya. Apakah benar mereka ingin membangun masjid demi Allah, atau sekadar mencari panggung dengan label “ibadah”?
Masjid yang Megah, Tapi Harus Juga Bermartabat
Bupati TR Keumangan boleh jadi memiliki niat baik dengan menjadikan Masjid Giok sebagai ikon wisata religi dan simbol kebanggaan daerah. Namun kebijakan publik harus berpijak pada aturan, transparansi, dan rasa keadilan.
Memaksa dana CSR ke arah proyek pemerintah, meski niatnya baik, tetaplah bentuk intervensi yang berpotensi melanggar batas etis dan hukum. Pemerintah daerah bukan pemilik dana CSR, ia hanya mitra koordinatif, bukan pihak yang boleh menentukan arah penggunaannya secara sepihak.
Aceh memiliki kekhususan dan keistimewaan dalam bidang agama, adat, dan budaya, tetapi kekhususan itu tidak berarti kebal dari hukum. Dalam Islam, ketaatan terhadap aturan yang adil juga merupakan ibadah. Maka membangun masjid tanpa mematuhi undang-undang justru mengaburkan makna kesucian rumah Allah itu sendiri.
Menjaga Marwah Aceh dalam Bingkai Hukum dan Iman
Rizki Julianda mewakili wajah baru politik Aceh. Dari pernyataannya, ia dapat diketegorikan sebagai seorang pemuda dan pejabat yang kritis, berani, dan berbasis prinsip. Ia tidak sedang menolak pembangunan masjid, tetapi sedang membela marwah hukum dan akuntabilitas publik.
Dalam pandangan seperti ini, pembangunan Masjid Giok akan benar-benar bernilai ibadah jika dilakukan secara sah, transparan, dan berlandaskan keikhlasan, bukan kepentingan.
Masjid Giok bisa menjadi simbol kemegahan baru bagi Kabupaten Nagan Raya, tetapi jangan biarkan ia menjadi simbol kemunafikan birokrasi. Sebab rumah ibadah yang agung tidak hanya dibangun dari batu dan giok, melainkan juga dari kejujuran, ketaatan, dan keberanian menegakkan aturan.
Pembangunan Masjid Giok seharusnya menjadi momentum bagi para pemimpin di Nagan Raya untuk menegaskan jati diri, bahwa keislaman dan keistimewaan Aceh bukanlah alasan untuk menabrak hukum, melainkan kompas moral untuk menjalankan kebijakan dengan adil.
Karena pada akhirnya, ibadah sejati tidak lahir dari besarnya kubah, lantai yang mewah, dinding yang megah, bahkan tak berasal dari giok yang bertuah, akan tapi dari lurusnya niat dan benarnya cara dalam membangunnya.
*) T. Rahmat merupakan Warga Darul Makmur, Nagan Raya
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)