Kasus Pelabuhan Probolinggo, disidik Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, melibatkan PT. Delta Artha Bahari Nusantara (DABN) memunculkan beragam tafsir. Perhatian paling tajam, tentu terhadap proses pemberian konsesi selama 64 tahun. Aspek legalitas, pendanaan, hingga status badan usaha PT. DABN, inilah yang kemudian didalami kejaksaan. Namun dalam kerangka hukum administrasi negara, penting dicatat, bahwa tanggung jawab entitas pelaksana berbeda dengan kewenangan otoritas pemberi kebijakan. Karena itu, posisi PT. DABN, sepatutnya dipahami sebagai badan usaha yang bekerja berdasarkan mandat legal pemerintah. Bukan sebagai subjek utama pelanggaran regulasi.
Fakta menunjukkan, konsesi yang diterima PT. DABN, bukanlah hasil jalan pintas. Melainkan melalui proses formal. Mulai dari rekomendasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur, hingga persetujuan Kementerian Perhubungan. Seluruh tahapan administrasi itu ditempuh melalui jalur institusional yang sah. Surat Gubernur Jawa Timur pada 2016, menegaskan PT. DABN, bagian dari entitas BUMD menjadi dasar legitimasi. Dokumen tersebut, baik dari sisi faktual maupun yuridis, merupakan pijakan penting pemerintah pusat untuk mengambil keputusan konsesi. Dengan demikian, tudingan adanya rekayasa status administratif seharusnya tidak serta-merta diarahkan kepada PT. DABN, melainkan menjadi ranah evaluasi baik di level kebijakan daerah maupun pusat.
Tuduhan lain yang juga ramai dibicarakan adalah dugaan kerugian negara hingga Rp 270 miliar. Selanjutnya aliran dana sebesar Rp1,6 triliun pada 2016, dan dana tambahan Rp750 miliar pada 2021 dari Pemprov Jawa Timur. Dana itu disebut-sebut untuk pengembangan Pelabuhan Probolinggo. Yang kemudian dikaitkan dengan konsesi yang dipegang PT DABN. Di sini penulis penting menegaskan, bahwa dana tersebut bukan merupakan dana pribadi PT DABN. Apa lagi dikelola tanpa pengawasan. Dana itu jelas bersumber dari kebijakan fiskal pemerintah daerah melalui BUMD induk. Yakni PT. Petrogas Jatim Utama (PJU). Seluruh penyertaan modal tersebut dilakukan berdasarkan proses legal dan dasar hukum yang jelas. Yakni berdasar Peraturan Daerah No. 10/2016 dan mekanisme APBD yang sudah dibahas di DPRD Jatim. Dengan kata lain, pengelolaan dana adalah ranah pemerintah daerah dan BUMD. Bukan semata-mata tanggung jawab korporasi anak usaha seperti PT. DABN.
Dari perspektif akuntabilitas, PT. DABN, setiap tahun juga terbukti melakukan audit keuangan. Entitas ini menerapkan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) di setiap proses audit. Laporan keuangan juga direkonsiliasi dengan KSOP Probolinggo. Ini dilakukan agar transparansi tetap terjaga. Dari perspektif pers, tudingan “aliran dana jumbo” dikaitkan dengan praktik menyimpang masih sebatas asumsi publik, belum terbukti secara hukum. Sehingga membebankan seluruh tuduhan kerugian tersebut kepada PT. DABN, jelas tidak tepat. Secara operasional, PT. DABN, justru memperlihatkan peran positif dalam pengembangan pelabuhan sebagai simpul logistik maupun pusat pertumbuhan ekonomi kawasan. Peningkatan fasilitas bongkar muat, konektivitas hinterland, serta pelayanan kepelabuhanan merupakan investasi jangka panjang. Di banyak negara, konsesi jangka panjang memang lazim diberikan. Hal ini bertujuan menciptakan kepastian hukum bagi investor, sekaligus menjamin kontinuitas pelayanan publik.
Struktur kepemilikan PT. DABN, yang melibatkan BUMD dan swasta pun tidak otomatis berarti pelanggaran. Justru pola public-private partnership (PPP) semacam ini banyak diadopsi dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Selama BUMD, menjadi pengendali dan penggunaan dana publik sesuai prinsip akuntabilitas, kemitraan ini sah secara hukum dan efisien dari sisi pembangunan. Terkait proses inbreng aset yang baru rampung pada 2021, meski konsesi lebih dulu berjalan, hal itu tidak serta-merta bisa dianggap pelanggaran. Penulis banyak mencatat, dalam praktik administrasi publik, penyesuaian atau koreksi administratif kerap berjalan paralel atau menyusul. Sepanjang memang tidak ada indikasi niat jahat. Justru selesainya inbreng, mempertegas kepastian hukum atas aset, bukan sebaliknya.
Meski demikian, perkembangan kasus ini sudah memasuki fase baru. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur pada 19 Agustus 2025 telah melakukan penggeledahan di empat lokasi. Yakni kantor PT. DABN, di Probolinggo, kantor KSOP Probolinggo, kantor PT. PJU, di Surabaya, serta kantor PT. DABN, di Gresik. “Penggeledahan dilakukan untuk mencari dan menyita dokumen-dokumen yang terkait dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan jasa kepelabuhanan sejak 2017 hingga 2025,” ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim, Arif Sholehudin. Dia menegaskan, langkah tersebut bagian dari proses atau tahap penyidikan. “Semua pihak masih dalam posisi dimintai keterangan dan belum ada tersangka,” mengutip pernyataan Arif, kepada sejumlah wartawan.
Di lain pihak, Manajemen PT. DABN, sendiri merespons dengan sikap kooperatif. “Kami menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan sudah menyerahkan semua dokumen yang diminta, mulai dari legalitas, laporan keuangan, kajian konsesi, hingga dokumen pelimpahan hak konsesi,” kata Candra Kurniawan, Manajer Operasional PT DABN Probolinggo. Di tulis dalam sejumlah mas media Candra, juga berharap masyarakat tidak terburu-buru menyimpulkan. Karena menurutnya PT. DABN bekerja berdasarkan mandat legal yang jelas.
Di titik ini penulis penting menegaskan asas praduga tak bersalah. Penggeledahan adalah bagian dari proses penyidikan, bukan vonis bersalah. Hingga ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau hasil audit investigatif resmi, PT. DABN, tetap harus dipandang sebagai entitas yang sah dan beroperasi dalam kerangka hukum.
Dalam praktik hukum nasional, ada pula contoh kasus serupa yang mendapat toleransi dari aparat penegak hukum. Salah satunya kasus konsesi Terminal Peti Kemas di Pelabuhan Makassar pada 2019. Dimana, proses inbreng aset juga terlambat dari jadwal. Kejaksaan tidak serta-merta menjerat korporasi pelaksana. Melainkan lebih menekankan perbaikan administratif oleh pemerintah daerah dan kementerian teknis. Prinsip kehati-hatian itu semestinya juga diberlakukan dalam kasus PT. DABN, agar tidak menimbulkan preseden buruk bagi iklim investasi dan kepastian hukum.
Menarik mundur konsesi atau menghentikan operasional PT. DABN, tanpa dasar yang kuat, justru berisiko besar. Pertama, negara bisa menghadapi gugatan wanprestasi dengan potensi kerugian finansial signifikan. Kedua, aktivitas logistik dan distribusi barang di Jawa Timur, bagian timur akan terganggu. Ini tentu berdampak pada ekonomi regional. Ketiga, konsistensi pemerintah dalam menjamin kepastian berusaha jelas dipertaruhkan. Yang endingnya bisa menurunkan kepercayaan investor.
Dalam teori administrasi publik, negara hukum (rule of law) menuntut evaluasi kebijakan dilakukan secara objektif dan berbasis data. Bukan sekadar opini publik atau tekanan politik. Hingga ada putusan hukum tetap, keberadaan PT. DABN, harus tetap dihormati. Jika ada kelemahan tata kelola, perbaikan seharusnya diarahkan kepada mekanisme kebijakan pemerintah daerah dan kementerian teknis. Bukan pada entitas pelaksana.
Karena itu, narasi yang cenderung menyudutkan PT. DABN, sebagai pelaku pelanggaran administratif perlu dikritisi. PT. DABN, adalah pelaksana yang bekerja berdasarkan mandat legal. Dalam kerangka pembangunan nasional yang membutuhkan kolaborasi publik dan swasta, perusahaan ini semestinya dipandang sebagai mitra strategis pembangunan. Membubarkan atau mencabut konsesi secara tergesa-gesa hanya akan menciptakan ketidakpastian. Membebani keuangan negara, dan merusak iklim investasi yang sedang dibangun. (*)
*) Eko Hardianto adalah wartawan Ketik.com yang bertugas di Probolinggo
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)