KETIK, SORONG – Kunjungan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman ke Ternate beberapa hari lalu kembali menegaskan komitmen pemerintah untuk mengembalikan kejayaan rempah Indonesia, dengan menjadikan Maluku dan Maluku Utara sebagai pusat rempah dunia.
Pernyataan ini mendapat perhatian dari berbagai kalangan di Maluku, salah satunya akademisi sekaligus peneliti BRIN, Ismail Rumadan. Ia mengingatkan bahwa langkah besar tersebut harus dibarengi dengan kepastian hukum yang melindungi ekonomi masyarakat.
Menurut Ismail, ada ironi ketika pemerintah menetapkan Maluku sebagai pusat rempah dunia, namun di sisi lain masih mengabaikan kepastian hukum atas hak tanah masyarakat lokal, termasuk tanah adat.
"Mestinya, pemberian status Maluku sebagai pusat rempah dunia ini diikuti dengan pemberian status hukum dan pengakuan atas hak-hak tanah masyarakat lokal maupun hak-hak tanah adat sebagai area perkebunan," ujar Ismail Rumadan, Senin, 17 November 2025.
Peneliti BRIN itu mengungkapkan pemberian status Maluku sebagai pusat rempah-rempah dunia seperti cengkeh dan pala tanpa kepastian hukum itu sama saja mengacaukan nalar publik dan masyarakat di Maluku dan Maluku Utara.
"Apalagi di Maluku Utara, hampir semua wilayahnya sudah ditetapkan sebagai wilayah usaha pertambangan yang telah menggeser hak-hak masyarakat atas tanah dan hutan sebagai ladang penghidupan masyarakat adat di daerah setempat," ungkapnya.
Ismail Rumadan, dosen sekaligus pakar hukum pidana dari Universitas Nasional (UNNAS), menegaskan bahwa pemerintah pusat perlu mempertimbangkan kepastian hukum atas hak-hak masyarakat sebelum menerbitkan kebijakan baru. Hal ini penting agar pelaksanaannya nanti tidak justru menimbulkan benturan hukum di lapangan.
Ia menilai, pengakuan hukum terhadap hak masyarakat bukan sekadar bentuk penghormatan pada identitas budaya lokal, tetapi juga langkah strategis untuk memperkuat peran warga dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
