Ketika Hutan Tenggelam, Kemanusiaan Ikut Hilang

26 Desember 2025 16:22 26 Des 2025 16:22

Thumbnail Ketika Hutan Tenggelam, Kemanusiaan Ikut Hilang
Prof. Safika, Guru Besar Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis, IPB University Peneliti kesehatan orangutan Sumatera. (Foto: Zaid Kilwo/Ketik.com)

Banjir yang berulang melanda kawasan hutan Sumatera bukan sekadar peristiwa hidrometeorologi. Ia adalah cermin dari krisis ekologis yang kita ciptakan sendiri, krisis yang kini menelan habitat Manusia Hutan (orangutan Sumatera) dan satwa liar lainnya, serta mengoyak relasi paling purba antara manusia dan alam.

Hutan yang semestinya menjadi benteng kehidupan justru berubah menjadi korban pertama dari tata kelola yang abai.

Sebagai peneliti yang menaruh perhatian pada kesehatan orangutan Sumatera, saya menyaksikan bagaimana banjir dan degradasi hutan memicu rangkaian dampak biologis yang serius. 

Hilangnya kanopi, terfragmentasinya lanskap, dan rusaknya sumber pakan memaksa orangutan turun ke tanah, meningkatkan stres fisiologis.

Konflik dengan manusia, serta paparan patogen baru. Dalam riset kesehatan satwa liar, stres kronis dan perubahan mikrobioma usus bukan isu kecil-keduanya berkelindan dengan penurunan imunitas dan kerentanan penyakit.

Ketika hutan tenggelam, kesehatan satwa ikut karam. Namun, menyebut banjir sebagai "bencana alam" semata adalah pengaburan fakta Deforestasi, alih fungsi lahan, konsesi ekstraktif, dan tata ruang yang mengabaikan daya dukung ekosistem telah melemahkan fungsi hidrologi hutan. 

Tanah kehilangan kemampuan menyerap air, sungai kehilangan ruang bernapas. Akibatnya, hujan yang dulu menjadi berkah kini menjelma malapetaka. Satwa liar kehilangan rumah, manusia kehilangan rasa aman-dua korban dari kebijakan yang sama.

Orangutan Sumatera adalah spesies payung. Menyelamatkan mereka berarti melindungi mosaik kehidupan hutan: burung, mamalia kecil, herpetofauna, serangga penyerbuk, hingga mikroorganisme tanah. 

Ketika satu spesies kunci terdesak, stabilitas ekosistem runtuh berantai. Dalam konteks One Health, krisis ini juga kembali kepada manusia: meningkatnya risiko zoonosis, gangguan kualitas air, hingga hilangnya jasa ekosistem yang menopang pangan dan kesehatan publik.

Yang lebih mengkhawatirkan, respons kebijakan sering kali terjebak pada penanganan darurat evakuasi, bantuan logistik-tanpa menyentuh akar persoalan. Rehabilitasi hutan berjalan lambat, penegakan hukum lingkungan tumpul, dan suara sains kerap tersisih oleh kepentingan jangka pendek. 

Padahal, bukti ilmiah telah lama menunjukkan: hutan yang utuh adalah infrastruktur alami paling efektif untuk mitigasi banjir dan perlindungan keanekaragaman hayati. Kita memerlukan keberanian untuk mengubah arah. Moratorium pembukaan hutan harus ditegakkan dengan pengawasan ketat. 

Restorasi berbasis lanskap-menghubungkan kembali koridor satwa-harus diprioritaskan. Riset kesehatan satwa liar perlu diintegrasikan dalam perencanaan wilayah, bukan sekadar laporan akademik. 

Dan yang tak kalah penting, masyarakat lokal harus menjadi mitra utama penjaga hutan yang memperoleh keadilan ekologis dan ekonomi. Banjir di Sumatera adalah alarm keras. Ia menegaskan bahwa krisis habitat satwa liar adalah krisis kemanusiaan. 

Jika kita terus membiarkan hutan tenggelam, kita sedang menenggelamkan masa depan-bagi orangutan, bagi satwa liar lain, dan pada akhirnya bagi diri kita sendiri.(*)

 

Oleh: Prof. Safika, Guru Besar Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis, IPB University (Peneliti kesehatan orangutan Sumatera) 

Tombol Google News

Tags:

Ketika Hutan Tenggelam Kemanusiaan Ikut Hilang Prof Safika Guru Besar IPB Guru Besar Sekolah Kesehatan Hewan Biomedis IPB University JAWA BARAT