KETIK, SURABAYA – Mantan Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema) periode 2017 hingga 2021, Awan Setiawan mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Hal ini tercatat sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) PN Surabaya dengan nomor perkara 20/Pid.Pra/2025/PN Sby, dan dijadwalkan sidang, Selasa, 8 Juli 2025.
Namun, Kejaksaan Negeri (Kejati) Jatim mengaku belum menerima surat resmi dari PN Surabaya terkait praperadilan Awan Setiawan.
"Kami baru tahu di SIPP dan sidang pertama kemarin tapi kami tidak datang karena belum terima surat resmi dari PN Surabaya terkait praperadilan tersebut," ungkap Aspidsus Kejati Jatim, Saiful Bahri Siregar, Rabu, 9 Juli 2025.
Meskipun belum menerima, Saiful akan menelusuri surat dari PN Surabaya terkait praperadilan tersebut. "Kami masih cari tahu terkait pemberitahuan sidang praperadilan tersebut," bebernya.
Meskipun begitu, Kejati Jatim siap untuk mengikuti praperadilan yang diajukan tersangka Awan Setiawan. "Ini kalau kami sudah menerima surat pemberitahuan resmi dari PN Surabaya," ungkapnya.
Saat disinggung terkait pengajuan praperadilan tersebut, Saiful Bahri mengaku hal tersebut merupakan hal yang wajar. Ia menilai praperadilan merupakan hak dari tersangka.
"Jadi itu akan menguji penyidikan kasus yang tengah kami tangani apa sudah sesuai dengan kaidah hukum yang telah kita lakukan," tuturnya.
Dengan praperadilan itu, Saiful Bahri akan menjawab semua yang tengah diusahakan oleh tersangka. "Kami akan menjawab bahwa apa yang telah dilakukan untuk memenuhi kaidah dan menenuhi alat bukti yang dibutuhkan," pungkasnya.
Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) menahan mantan Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema) periode 2017 hingga 2021, Awan Setiawan.
Pelaku terjerat kasus korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus yang membuat negara alami kerugian mencapai Rp42 miliar.
Awan ditetapkan tersangka bersama Hadi Setiawan selaku pemilik tanah yang berkerjasama dengan Awan.
Dengan perbuatannya, kedua tersangka Awan dan Hadi dijerat dengan pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara," terang Saiful. (*)