KETIK, ACEH BARAT DAYA – Kejaksaan Negeri Aceh Barat Daya (Kejari Abdya) tengah mengusut dugaan penyalahgunaan Dana Desa senilai sekitar Rp1,5 miliar yang digunakan untuk kegiatan studi banding Tuha Peut ke Padang, Sumatera Barat, pada tahun 2024. Proses penyidikan resmi dimulai sejak 2 Juni 2025 dan terus berkembang seiring bertambahnya saksi serta bukti pendukung.
Kepala Kejari Abdya, Bima Yudha Asmara, mengungkapkan bahwa kegiatan studi banding tersebut diikuti oleh 147 dari 152 desa di wilayah itu. Masing-masing desa mengalokasikan anggaran sekitar Rp10 juta dari Dana Desa, yang diduga tidak sesuai peruntukannya berdasarkan regulasi yang berlaku.
“Sebelum masuk tahap penyidikan, kami telah melakukan penyelidikan selama empat bulan. Saat ini, sebanyak 24 orang saksi telah diperiksa,” kata Bima, Minggu, 6 Juli 2025 di Blangpidie.
Sebagai langkah lanjutan, Kejari Abdya telah menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh untuk menghitung secara akurat potensi kerugian negara dalam kasus tersebut. Pihak kejaksaan juga telah meminta agar dana yang diduga disalahgunakan dikembalikan, namun Bima menegaskan bahwa hal itu tidak menggugurkan unsur pidana.
“Pengembalian dana bukan berarti pelaku bebas dari pertanggungjawaban hukum. Ini ditegaskan dalam Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001,” tegasnya.
Studi Banding Tak Sesuai Prioritas Dana Desa
Kajari Bima menyoroti bahwa Dana Desa seharusnya digunakan sesuai prioritas sebagaimana diatur dalam Permendes Nomor 7 dan 13 Tahun 2023. Prioritas tersebut meliputi program penanggulangan kemiskinan ekstrem, ketahanan pangan dan hewani, pencegahan stunting, serta pengembangan potensi dan karakteristik desa. Dana ini juga wajib dikelola secara swakelola untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, bukan aparatur desa.
"Kalau tujuannya membina aparatur desa, itu ranahnya Pemerintah Kabupaten atau Kota. Tidak boleh Dana Desa dipakai untuk itu, apalagi dalam bentuk perjalanan ke luar daerah," ujarnya.
Kejari Abdya, Bima Yudha Asmara. (Foto: T. Irwan/Ketik)
Keterlibatan Pihak Ketiga dan Tekanan Psikologis
Lebih mirisnya, lanjut Bima, kegiatan studi banding ini diduga telah berlangsung secara berulang setiap tahun, bahkan melibatkan pihak ketiga yang sama. Ada pula indikasi keterlibatan oknum yang semestinya menjadi pembina dan pengarah desa, justru ikut menyuburkan praktik menyimpang ini.
"Aparatur desa merasa tertekan dan takut jika tidak ikut, nanti justru diperiksa. Ini sangat memprihatinkan dan mencerminkan penyimpangan sistemik," tegasnya.
Larangan Kegiatan Serupa Mulai 2025
Kejaksaan dengan tegas melarang pelaksanaan kegiatan studi banding atau bimbingan teknis aparatur desa ke luar daerah dengan menggunakan Dana Desa mulai tahun 2025.
“Semua pihak harus memahami batasan kewenangannya. Dana Desa adalah amanah rakyat. Jangan sampai jadi alat kepentingan pribadi atau kelompok,” tandas Bima.
Ia juga mengingatkan bahwa penyusunan anggaran desa (APBG) maupun peraturan turunan seperti Perbup, harus dilandasi integritas dan berpedoman pada aturan yang lebih tinggi. Tidak boleh ada kepentingan tersembunyi dalam proses pengelolaan keuangan desa.
“Sudah saatnya kita hentikan pola-pola manipulatif dalam pengelolaan dana publik. Dana Desa bukan milik aparatur, tetapi milik masyarakat yang harus dikelola demi kesejahteraan bersama,” pungkas Kajari Abdya.
Penyidikan kasus ini dipastikan terus berlanjut, dan Kejari Abdya berkomitmen menuntaskan penegakan hukum secara profesional dan transparan. (*)