Ini Cara Membentuk anak Agar Berpikir Kritis Sejak Dini

25 September 2025 02:02 25 Sep 2025 02:02

Thumbnail Ini Cara Membentuk anak Agar Berpikir Kritis Sejak Dini
Ilustrasi orang tua bersama dengan anak. (Foto: Freepik)

KETIK, TANGERANG – Banyak orang tua ingin anaknya pintar dikehidupan sehari-hari mereka, akan tetapi jarang yang sungguh-sungguh mengajari untuk mereka berpikir secara kritis.

Salah satu Riset Harvard Graduate School of Education menunjukkan bahwa anak-anak yang dibiasakan berpikir secara kritis sejak dini cenderung lebih mandiri.

Dengan begitu anak akan berani mengambil keputusan, serta tidak mudah terjebak manipulasi oleh orang lain.

Ini bukan sekadar keterampilan akademik, melainkan fondasi anak di saat melakukan kehidupan keseharian mereka.

Di kehidupan sehari-hari, para orang tua sering menjumpai anak yang cepat menjawab soal matematika.

Akan tetapi tidak tahu pada saat diminta menjelaskan alasan dibalik jawaban yang sudah dijawab.

Selain itu, beberapa anak lancar bercerita, akan tetapi menelan bulat-bulat semua informasi yang telah anak dengar. 

Dari situlah para orang tua belajar bahwa berpikir kritis bukan bawaan ketika sang anak dari lahir, melainkan hasil dari pembiasaan serta didikan para orang tua ajarkan sehari-hari. 

Orang tua berperan penting pada menanamkan kemampuan berpikir anak sejak sedini mungkin, salah satunya disaat anak sedang bermain dengan orang tua.

Berikut tujuh cara membentuk anak supaya berpikir kritis sejak dini dengan pendekatan yang mudah, masuk akal, dan dapat diterapkan dalam kehidupan keseharian.

Membiasakan Anak dengan Diskusi Kecil di Rumah

Rumah sering kali hanya jadi tempat kebiasaan sehari-hari, seperti tidur, makan, belajar, lalu istirahat.

Padahal, rumah pun dapat menjadi ruang diskusi kecil yang melatih cara anak berpikir. 

Diskusi tidak harus soal topik berat saja, melainkan dapat dimulai dari hal-hal sederhana di lingkungan sekitar.

Seperti pada saat menonton film keluarga, tanyakan, “Menurutmu kenapa tokoh itu mengambil keputusan seperti itu?”

Atau contoh lainnya seperti “Kalau kamu ada di posisi seperti itu, apa yang akan kamu lakukan?” 

Pertanyaan seperti itu lah dapat membuka ruang refleksi dan bisa memperluas cara pikir anak dengan kritis.

Hal tersebut lah letak perbedaan antara anak yang hanya jadi pendengar dengan anak yang terbiasa mencerna informasi. 

Perlahan-lahan, anak belajar melihat suatu peristiwa dari berbagai sudut pandang, dengan begitu pemikiran anak akan jadi lebih terbuka.

Mengajarkan Anak Bertanya, Bukan Hanya Sekedar Menjawab

Anak kritis bukanlah anak yang tahu semua jawaban, melainkan yang berani mengajukan pertanyaan.

Dalam banyak keluarga, anak yang banyak bertanya justru dianggap cerewet atau mengganggu.

Padahal, kebiasaan bertanya adalah salah satu hal yang penting untuk berpikir kritis.

Salah satu contoh seperti, “Kenapa pelangi warna-warni?”, respons yang tepat bukan sekadar menjawab cepat.

Akan tetapi juga kembali tanyakan, “Menurutmu kenapa?” Dengan demikian, anak belajar memikirkan kembali berbagai kemungkinan sebelum menerima jawaban final.

Di titik tersebut lah peran orang tua sebaiknya mulai membiasakan pola dialog dua arah.

Percakapan sederhana sehari-hari bisa menjadi sebuah laboratorium kecil bagi anak untuk melatih logika dan imajinasi pola pikir anak. 

kebiasaan kecil tersebut jauh lebih efektif daripada sekadar menghafalkan definisi berpikir kritis pada saat anak hanya sedang sekolah saja.

Mengajarkan Anak Mencerna Informasi Yang Telah Didapatkan, Bukan Hanya Sekedar Mendengarkan Saja

Era digital Membuat Anak Mendapatkan Informasi Sejak Dini

Seperti YouTube, TikTok, hingga berita televisi menyodorkan berbagai klaim setiap hari. 

Jika anak tidak dilatih sejak sedini mungkin, ia akan mudah percaya pada apa pun yang hanya terlihat meyakinkan.

Contohnya pada saat anak mendengar kabar bahwa minum es akan sakit tenggorokan, jangan lah langsung memarahi dan melarangnya.

Tanyakan terlebih dahulu, “Siapa yang bilang begitu? Apakah hal tersebut didukung oleh alasan medis yang akurat?” Dengan seperti itu, anak belajar membedakan informasi berbasis fakta dengan hanya sekadar mitos.

Latihan sederhana tersebut dapat melatih anak untuk berpikir secara sehat, bukan hanya sinis. 

Anak akan jadi terbiasa berpikir, bukti nyata, Tanyakan pada anak dari mana sumber informasi, dan apakah alasan tersebut masuk akal. 

Pola itu lah, jika dibangun sejak kecil, akan jadi benteng kuat saat mereka dewasa menghadapi berbagai macam manipulasi.

Menghubungkan Pengetahuan dengan Kehidupan Sehari-hari

Salah satu kelemahan pendidikan adalah memisahkan pelajaran dari kehidupan sehari-harinya.

Akibatnya, anak akan merasa belajar hanya soal ujian saja, bukan soal dalam kehidupan. Padahal, berpikir kritis justru terasah saat teori bertemu kenyataan.

Contohnya seperti saat belajar konsep proses terjadinya air hujan, ajak anak untuk mencari tahu alasan mengapa hujan bisa terjadi.

Atau contoh lain ketika membicarakan etika, kaitkan dengan situasi nyata dilingkungan sehari-hari mereka. 

Dengan begitu, anak akan berpikir kritis bukan hanya sekadar hafalan, melainkan keterampilan yang relevan dengan kehidupan nyatanya.

Ketika anak terbiasa menghubungkan pelajaran dengan pengalaman nyata, mereka otomatis lebih reflektif. 

Mereka belajar mencari makna, bukan hanya sekadar jawaban benar atau salah. Inilah langkah penting agar berpikir kritis tidak berhenti di ruang kelas.

Memberi Ruang Anak Belajar dari Kesalahan

Berpikir kritis tidak akan tumbuh di lingkungan yang menghukum setiap kesalahan. 

Justru anak akan takut mencoba dan hanya mencari jawaban aman. Padahal, kesalahan adalah bahan bakar utama dalam melatih nalar kritis.

Salah satu contoh ketika anak salah menghitung kembalian yang sudah dibeli, janganlah langsung menilai anak. Ajak anak untuk menelusuri ulang langkah perhitungan yang benar. 

Proses mencari letak salah itulah yang membangun pola pikir anak. Anak akan belajar bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya.

Melainkan kesempatan untuk meninjau ulang kesalahan yang pernah dilakukan. Dengan begitu anak akan jadi mudah berpikir lebih kritis.

Lingkungan yang ramah kesalahan melatih anak lebih berani mengambil risiko segala yang akan terjadi. 

Mereka akan tidak takut mengutarakan pendapat meskipun ada kemungkinan salah, justru dari situlah anak akan belajar berani kritis tumbuh secara alami.

Membiasakan Anak Membaca dan Mencerna Dari Isi Bacaan

Membaca memang penting, tetapi membaca kritis jauh lebih penting. Banyak anak yang bisa membaca cepat tetapi tidak benar-benar memahami apa yang mereka baca.

Di situ peran orang tua untuk melatih refleksi anak ketika setelah membaca yang telah dibaca.

Kebiasaan membaca reflektif tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga membentuk pola pikir analitis.

Jika dibiasakan, anak akan tumbuh menjadi pembaca yang aktif, kritis, dan tidak mudah tertipu oleh teks yang manipulatif.

Nah, itulah beberapa cara untuk anak agar anak bisa berpikir secara kritis yang jarang diajarkan di sekolah.

Jangan biarkan anak berkembang tanpa didikan serta ajaran para orangtua, didik anak dengan kedisiplinan serta pola pikir pada anak.

Agar ketika sudah dewasa sang anak bisa dengan mudah memiliki perkembangan dalam karir melalui ajaran orangtua dikehidupan sehari-harinya. (*)

Tombol Google News

Tags:

#CaraMendidikAnakDenganTepat #PeranOrangTuaUntukAnak #MendidikAnakAgarBerkembang #MendidikAnakSejakDini