Perayaan Hari Ibu kerap diekspresikan dengan berterima kasih kepada ibu melalui ucapan dan hadiah. Ini adalah bentuk apresiasi terhadap perjuangan dan pengorbanan seorang ibu. Seorang ibu selalu digambarkan sebagai sosok yang teduh, penuh pengorbanan, dan setia mendampingi keluarga.
Adanya penggambaran ini memang mencerminkan kondisi seorang ibu secara realistis. Namun, hal ini tidak sepenuhnya mewakili makna dari Hari Ibu yang telah ditetapkan berdasarkan sejarah.
Hari Ibu di Indonesia berawal dari Kongres Perempuan Indonesia pertama yang diadakan pada tahun 1928. Pada forum ini, seluruh organisasi perempuan dari pelbagai daerah di Indonesia berkumpul di Yogyakarta. Berbagai kepentingan bersama mulai dari pendidikan, kesehatan, pernikahan, hak-hak anak, dan perjuangan dibahas dalam forum ini.
Adanya forum ini membuat makna dari Hari Ibu di Indonesia sendiri berbeda dari negara-negara lain. Hari Ibu di Indonesia dimaknai sebagai gerakan perjuangan perempuan yang menuntut hak setara dan kesempatan yang lebih luas dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam makna inilah kemudian dipahami bahwa ibu bukan merupakan figur keluarga saja, akan tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki.
Namun, sekarang perayaan Hari Ibu cenderung lebih fokus kepada perayaan yang menekankan ketulusan, kesabaran, dan pengorbanan dari seorang ibu. Makna ini sebenarnya tidak salah apabila dilihat dari sudut pandang seorang anak terhadap ibu. Namun, pemaknaan ini membuat pengalaman ibu yang lebih beragam menjadi lebih sederhana. Hanya sebatas pengabdiannya saja di dalam pernikahan dan di dalam rumah. Kontribusi seorang ibu di bidang kehidupan yang lain cenderung tidak dilihat dan diapresiasi.
Hal ini terlihat dari bagaimana seorang ibu seringkali diposisikan hanya sebagai pendamping dan pengasuh anak. Banyak sekali narasi yang mengatakan, "untuk apa pendidikan tinggi kalau sudah menikah kerjaannya hanya mengurus anak."
Narasi tersebut merupakan sebuah bukti bahwa pendidikan seorang perempuan tidak akan berguna saat mereka menjadi seorang ibu. Hal ini mengacu pada opini tentang pendidikan tidak memiliki peran yang penting bagi seorang ibu dibandingkan dari peran ibu dalam rumah tangga. Padahal, pendidikan menjadi salah satu fondasi yang paling penting bagi seorang ibu dalam membangun sebuah keluarga.
Dalam hal pernikahan, adanya narasi 'ibu yang baik' sering kali dikaitkan dengan kepatuhan dan ketahanan dalam sebuah pernikahan. Dalam sebuah pernikahan tidak jarang juga bahwa seorang ibu tidak memiliki hak untuk mengutarakan pendapatnya.
Narasi “ibu yang baik” ini sering kali terlihat bagaimana seorang ibu cenderung menahan dan mengurungkan pendapatnya agar terkesan lebih mengutamakan pendapat suami sebagai kepala keluarga. Padahal hal tersebut terkadang membuat hubungan dan komunikasi dalam sebuah keluarga menjadi tidak seimbang.
Memaknai Hari Ibu hanya sebagai perayaan kasih sayang tanpa memahami makna sebenarnya berarti mengabaikan makna Hari Ibu yang sebenarnya dalam konteks sejarah. Hal ini berisiko menimbulkan ketimpangan yang sejak awal justru ingin dilawan oleh gerakan perempuan.
Hari Ibu seharusnya menjadi perayaan dan momentum untuk mengingat bahwa ibu juga manusia yang memiliki hak, aspirasi, dan pilihan hidup. Menghargai ibu tidak cukup hanya dengan bunga, hadiah, dan ucapan terima kasih. Menghargai ibu berarti mendukung akses mereka terhadap pendidikan, kebebasan, serta pernikahan yang setara.
Dengan mengembalikan makna Hari Ibu sesuai dengan yang seharusnya, adanya peringatan ini dapat menjadikan momentum untuk merefleksikan atas sejauh mana kesetaraan telah diwujudkan di dunia pernikahan. (*)
*) Fayza Qudsiyah Maharani adalah Kepala Departemen Advokasi Formapi Universitas Brawijaya 2025
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
*) Ketentuan pengiriman naskah opini:
Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
Panjang naskah maksimal 800 kata
Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
Hak muat redaksi.(*)
