KETIK, SURABAYA – Di tengah persaingan antar kepala daerah dalam urusan infrastruktur, investasi, dan penghargaan paling inovatif se-Indonesia”, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi melangkah ke jalur yang lebih spiritual. Ia dinobatkan sebagai Kepala Daerah Pengumpul Zakat Terbanyak oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Jawa Timur.
Sementara daerah lain sibuk menghitung PAD dan pajak reklame, Surabaya tampaknya sudah naik kelas — menghitung pahala.
Penghargaan ini disebut sebagai bukti konkret atas semangat gotong royong dan profesionalisme dalam mengelola zakat di tubuh birokrasi Pemkot Surabaya.
Menurut rilis resmi, penghargaan itu adalah bukti keseriusan Wali Kota Eri dalam menjadikan zakat sebagai instrumen utama percepatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan di Kota Pahlawan.
Dengan kata lain, ketika APBD belum cair, zakat ASN sudah jalan lebih dulu.
Kepala Bagian Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Bapemkesra) Surabaya, Arief Boediarto, menegaskan bahwa apresiasi ini lahir dari kinerja kolektif birokrasi dan masyarakat.
“Penghargaan dari Baznas Jatim ini adalah cerminan konsistensi Pak Wali Kota dalam mendorong seluruh elemen, khususnya ASN Pemkot, untuk menunaikan kewajiban zakatnya melalui Baznas. Berkat gerakan ini, perolehan zakat kita stabil di angka yang sangat besar, mencapai rata-rata Rp3 miliar hingga Rp4 miliar per bulan,” ujar Arief, Jumat 10 Oktober 2025.
Rp 3-4 miliar per bulan dari zakat ASN — bukan angka kecil. Dalam konteks birokrasi, mungkin ini satu-satunya “setoran rutin” yang dibanggakan tanpa rasa bersalah.
Dana zakat yang dikelola Baznas Surabaya bahkan menempatkan kota ini sebagai salah satu pengumpul zakat terbesar di Indonesia. Menurut Arief, fokus utama Pemkot adalah memastikan dana itu kembali secara optimal kepada masyarakat.
“Kewajiban zakat 2,5 persen dari penghasilan yang dikumpulkan secara kolektif dan rutin setiap bulan ini diyakini Walikota menjadi kunci utama penyelesaian berbagai masalah sosial, sehingga tidak sepenuhnya bergantung pada APBD,” tambahnya.
Dengan mekanisme ini, zakat seolah menjadi miniatur APBD versi langit, fleksibel dan cepat cair tanpa rapat paripurna.
Arief menambahkan bahwa sinkronisasi data antara Pemkot dan Baznas membuat penyaluran lebih tepat sasaran, terutama kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Kalau APBD menunggu verifikasi berlapis, Baznas cukup berkoordinasi, dan bantuan bisa langsung turun — doa terkabul lebih cepat.
Dalam praktiknya, dana zakat Surabaya disalurkan ke berbagai bidang: pengentasan kemiskinan, perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu), hingga program gizi untuk menekan stunting.
“Dalam sektor peningkatan kualitas SDM, berfokus pada beasiswa untuk anak kurang mampu dari jenjang dasar hingga menengah, serta program Tebus Ijazah, memastikan tidak ada anak Surabaya yang putus sekolah hanya karena kendala administrasi,” rincinya.
Selain itu, zakat juga berfungsi sebagai dana darurat non-APBD, semacam bantuan sosial spiritual yang bisa digerakkan tanpa nota dinas tebal.
“Kinerja Baznas setelah berkoordinasi dengan pemkot inilah yang membuat program zakat di Surabaya dinilai sukses.Target kami adalah terus meningkatkan taraf hidup, mengurangi buta huruf, dan meningkatkan ketakwaan masyarakat," pungkasnya. (*)