Ada yang menarik dari Berita Resmi Statistik (BRS) Jawa Barat edisi 1 Agustus 2025. Bukan hanya karena datanya padat, tapi juga karena diam-diam menggambarkan kondisi kita semua: sedang mencoba tertawa, di tengah harga-harga yang makin serius.
Mari kita bedah satu per satu. Tenang, ini bukan skripsi statistik. Ini lebih seperti stand-up ekonomi — lucu-lucu pedas tapi ada datanya.
INFLASI: Uang Gaji Jalan di Tempat, Harga Barang Naik ke Angkasa
Bulan Juli 2025 mencatat inflasi month-to-month (m-to-m) sebesar 0,30%, naik dari bulan Juni yang hanya 0,27%. Artinya, jika bulan lalu kita masih bisa beli tahu isi Rp2.000, bulan ini tahu isinya berkurang ukurannya.
Secara year-on-year (yoy), inflasi sudah menyentuh 2,03%. Yang bikin nyesek bukan cuma angkanya, tapi penyebabnya: Kelompok makanan, minuman, dan tembakau menyumbang inflasi tertinggi sebesar 0,15%. Karena harga beras, telur ayam, dan jengkol—iya, jengkol—melambung lebih cepat daripada doa saat hujan turun.
Kelompok pendidikan juga nyusul naik sebesar 0,04%. Maklum, tahun ajaran baru datang bukan cuma dengan semangat baru, tapi juga daftar ulang yang bikin kepala orang tua ikut ujian.
Sementara itu, sejumlah komoditas seperti bawang merah, tomat, dan minyak goreng justru menyumbang deflasi tipis. Tapi sayangnya, deflasi itu seperti diskon 5% di mall: niat baiknya ada, tapi tidak cukup menyelamatkan dompet dari tragedi akhir bulan.
NTP & NTUP: Petani Menang Banyak, Tapi Jangan Lupa Ongkos Produksi Naik
Sementara harga konsumen bikin nelangsa, di sisi lain petani kita justru tersenyum. Bukan karena panen cinta, tapi karena Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) naik signifikan: NTP naik 2,01% (m-to-m) menjadi 116,23; NTUP naik 2,15% menjadi 119,72.
Kenaikan ini utamanya didorong oleh subsektor hortikultura yang melonjak 5,65%, berkat naiknya harga tomat dan cabai rawit yang meledak seperti status mantan di Instagram: pedas dan viral.
Namun, jangan buru-buru pesta. Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) juga naik, meski tipis 0,10%. Artinya, meski pendapatan petani naik, biaya tanam, panen, dan beli bibit juga ikut naik. Syukurlah belum naik sampai ke hati.
HARGA BERAS: Tahan Nafas, Karena Ini Data Resmi, Bukan Gosip Warung
Kalau biasanya kita naik motor beli beras, sekarang rasanya pengen naik sepeda sambil berdoa. Harga beras premium naik 2,57% m-to-m menjadi Rp13.776/kg. Harga beras medium naik 1,60% m-to-m menjadi Rp13.463/kg. Rata-rata total harga beras: Rp13.173/kg, naik 5,77% secara tahunan.
Ini serius. Kalau Anda hitung per liter (asumsikan 1 liter ≈ 0,8 kg), maka 1 liter beras sekarang harganya sekitar Rp10.500. Hampir sama seperti air isi ulang galon, tapi ini bisa dimakan. Ironisnya, kalau Anda masak nasi terlalu lembek, hasilnya bisa disebut “bubur mahal”.
PARIWISATA: Turis Asing Kabur, Turis Lokal Bikin Macet
Sektor pariwisata tampaknya sedang "ghosting" Jawa Barat: Kunjungan wisman (wisatawan mancanegara) ke Jawa Barat via Kertajati pada Juni 2025 hanya 513 kunjungan, turun 37,44% yoy.
Wisman yang datang didominasi oleh Singapura (40,16%) dan Tiongkok (18,32%) — entah karena ingin liburan, atau kabur dari harga rumah di negaranya sendiri.
Tapi jangan khawatir, karena rakyat lokal tak tinggal diam. Jumlah perjalanan Wisatawan Nusantara (WIisnus) pada Juni tembus 18,75 juta perjalanan, naik 39,91% dari Mei. Tampaknya, banyak warga yang paham bahwa healing ke Pangalengan lebih masuk akal daripada ke Phuket — Selain dekat, juga bisa sambil panen stroberi, dan nyobain Kopi Sunda Hejo.
TRANSPORTASI: WHOOSH Melaju, Pesawat Menghilang
Juli ini, kereta api—terutama WHOOSH—menjadi primadona, mencatat peningkatan penumpang 6,82% month-to-month.
Sementara itu: Penerbangan domestik anjlok hingga -95,74% yoy. Penerbangan internasional turun -87,70% yoy
Ini bukan karena orang tidak mau terbang, tapi karena harga tiket pesawat lebih mahal dari tiket konser Coldplay. Belum lagi delay-nya bikin penumpang bisa sempat beli oleh-oleh dulu sebelum naik pesawat.
EKSPOR-IMPOR: Jabar Jago Jualan, Pintar Belanja
Inilah kabar baik paling penting (dan jarang diberitakan di FYP, For You Page): Ekspor Jawa Barat Januari-Juni 2025 mencapai USD 18,65 miliar, naik 3,71% yoy. Impor hanya USD 6,02 miliar, bahkan turun 2,63% dibanding tahun lalu. Surplus perdagangan: USD 12,63 miliar.
Mayoritas ekspor didominasi sektor industri (98,7%), dengan top produk: kendaraan, mesin elektrik, dan peralatan mekanis.
Sementara barang impor terbesar adalah mesin dan barang plastik—yang sepertinya digunakan untuk mendukung sektor industri Jabar yang makin high-tech. Atau, bisa juga karena kita masih suka beli yang "made in luar negeri" walau yang lokal sama bagusnya.
KESIMPULAN: Ekonomi Kita Masih Bergerak, Walau Kadang Kayak Jalan Rusak
Kalau ekonomi Jawa Barat bulan Juli ini bisa bicara, mungkin ia akan berkata: “Aku naik, tapi pelan. Aku tumbuh, tapi tetap harus hati-hati. Dan ya… aku lucu juga, kalau kalian tahu cara membacanya.”
Meski masih ada tantangan — dari inflasi pendidikan, harga beras, hingga turunnya kunjungan wisatawan asing — tapi optimisme tetap terlihat dari performa petani, sektor ekspor, dan geliat pariwisata lokal.
Ekonomi kita ibarat pedagang bakso: kadang sepi, kadang ramai. Tapi asal kuahnya masih hangat dan cabainya pas, pelanggan akan terus datang.
Catatan Penting, Jangan cuma baca data, pahami maknanya. Karena statistik bukan untuk menakut-nakuti. Tapi untuk mengajak kita berpikir, menyusun strategi, dan memperbaiki arah. Dan kadang, untuk sedikit menertawakan nasib bersama—agar hidup tetap waras di tengah inflasi yang kadang suka bercanda. Salam Jabar Istimewa. Cag.
*) H.TB Raditya Indrajaya SE, adalah Pemerhati Ekonomi dan Kebijakan Publik
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
Berikan keterangan OPINI di kolom subjek