KETIK, BLITAR – Dugaan praktik mafia tanah mencuat dari Dusun Banjarsari, Desa Wonotirto, Kabupaten Blitar. Lahan seluas kurang lebih 1.014 hektare yang diklaim sebagai tanah adat bekas Desa Banjarsari diduga berubah status menjadi kawasan hutan, memicu protes dan laporan hukum dari masyarakat.
Tim Panca Gatra bersama kelompok masyarakat “Maju Terus” secara resmi melaporkan persoalan ini ke Polres Blitar.
Laporan tersebut menyeret sejumlah nama, mulai dari mantan Bupati Blitar Rini Syarifah, beberapa pihak di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kabupaten Blitar, hingga Pemerintah Desa Wonotirto. Mereka diduga terlibat dalam penyalahgunaan program perhutanan sosial.
Meski demikian, seluruh tudingan tersebut masih menunggu klarifikasi dan pembuktian dari aparat penegak hukum.
Perwakilan masyarakat, Supriarno menegaskan bahwa inti persoalan terletak pada perubahan status lahan yang dinilai janggal dan merugikan warga.
“Tanah yang ada di Dusun Banjarsari, Wonotirto, itu dulunya adalah desa. Lalu entah bagaimana pada rezim Bupati Mak Rini, sepertinya malah dijadikan hutan,” ujar Supriarno.
Menurutnya, perubahan tersebut berdampak langsung pada hak warga. Tanah yang semestinya dapat dimanfaatkan secara layak justru menyempit drastis.
“Yang paling krusial adalah, tanah yang tadinya dimiliki penduduk lalu kok menjadi hutan. Ini yang kami nilai ada dugaan manipulasi mafia tanah yang harus diluruskan,” katanya.
Ia menyebut, warga yang awalnya berpotensi mendapatkan lahan 1 hingga 2 hektare melalui skema redistribusi tanah, kini hanya menerima sekitar 100 sampai 200 meter persegi.
Supriarno juga mengkritisi pelaksanaan program perhutanan sosial yang dijadikan dasar perubahan kawasan tersebut. Menurutnya, tidak ada aktivitas kehutanan yang nyata di lahan dimaksud.
“Tiba-tiba dibagikan sebagai tanah redistribusi hanya 10 sampai 20 persen dari total 1.014 hektare. Kok tiba-tiba jadi hutan? Menanam rumput saja tidak pernah, apalagi pohon hutan,” ujarnya.
Ia menambahkan, masyarakat pada awalnya dijanjikan sertifikat tanah. Namun, belakangan diketahui bahwa sertifikat yang diterbitkan bersifat kolektif dan hanya mencakup luas bangunan rumah.
Tim Panca Gatra mengaku telah menempuh berbagai jalur administratif. Sejumlah surat resmi telah dikirimkan kepada instansi terkait, antara lain:
24 Januari 2024, surat kepada Bupati Blitar dan Kepala Dinas Perkim untuk membatalkan program Perhutanan Sosial/KHDPK
25 Februari 2025, surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait pembatalan PS/KHDPK/PPTKH
1 Oktober 2025, permohonan pelepasan kawasan hutan Dusun Banjarsari
19 Februari 2025, laporan pengaduan ke Kapolres Blitar, dilengkapi peta Topografi Kodam V/Brawijaya
Namun hingga kini, warga menilai penanganan aparat kepolisian berjalan lambat.
“Sudah hampir satu tahun Polres Blitar lalai. Setidaknya ada bukti peta topografi Kodam V/Brawijaya yang kami serahkan. Masa Kodam V/Brawijaya diremehkan sekelas Polres Blitar?” tegas Supriarno.
Ia bahkan membandingkan kelalaian aparat dengan kasus pidana lainnya.
“Kalau sopir lalai sampai melukai orang bisa dipidana. Kalau yang lalai polisi bagaimana? Rakyat wajar kalau protes,” katanya.
Di tengah polemik yang belum tuntas, Pemerintah Kabupaten Blitar pada Senin, 29 Desember 2025, tetap membagikan 3.132 sertifikat PPTPKH kepada warga secara bertahap.
Sebagian warga menerima sertifikat tersebut, namun disebut menyimpan kegelisahan.
“Sesungguhnya batin masyarakat menangis. Mereka lemah dan dilemahkan. Tanah moyangnya tiba-tiba menjadi hutan,” pungkas Supriarno.
Hingga berita ini diturunkan, Ketik.com masih berupaya mengonfirmasi pihak-pihak yang disebut dalam laporan untuk mendapatkan penjelasan dan klarifikasi.(*)
