KETIK, MALANG – Hasanuddin Wahid, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia menekankan pentingnya cinta tanah air dan perilaku mengedepankan adab atau etika. Hal ini mengantisipasi dampak dari perkembangan dunia yang dinilai penuh kepalsuan.
Menurutnya, di satu sisi, memang perkembangan teknologi dan informasi membuat hal positif dan lebih memudahkan seseorang. Tapi merebaknya berita hoaks, berita palsu, hingga video palsu dari buatan teknologi artificial intellegence (AI) atau kecerdasan buatan membuat hal yang peru diwaspadai.
Untuk itu, ia mendorong santri dan mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Islam Ma'had Aly (STAIMA) Al-Hikam itu bisa lebih bijak dalam memanfaatkan teknologi.
"Era kepalsuan sekarang, hoax, fake, AI, semuanya luar biasa, tapi tipu-tipuannya banyak sekali sekarang membedakan video asli sama tidak susah. Hati-hati semuanya. Era kepalsuan maka syarat kita semuanya harus jadi santri dan mahasiswa, ini luar biasa bisa jadi garda terdepan menolak kepalsuan - kepalsuan ini," ucap Hasanuddin Wahid, saat seminar sosialisasi empat pilar kebangsaan, Senin 13 Oktober 2025.
Anggota MPR RI Hasanuddin Wahid saat di STAIMA Al-Hikam Malang (Foto: Aris/Ketik.com)
Selama ini mahasiswa diidentikkan fungsi sebagai agent of change alias agen perubahan, sedangkan santri pasti merupakan sosok yang alim dan pintar. Dua perpaduan itu akan menjadi penyeimbang di tengah semerawutnya dunia. Maka modal adab, etika, dan akhlak ala santri, dipadukan dengan ilmu yang dimiliki dari mahasiswa akan menghasilkan sesuatunya yang bermanfaat.
"Santri dan mahasiswa harus punya keunggulan nilai, akhlak, moral itu yang tidak dimiliki mahasiswa lain. Setidaknya saya yakin menjadi pencinta yang hebat adalah nilai, bukan pragmatisme, bukan yang lain. Nilai-nilai Aswaja, nilai-nilai kepesantrenan sudah diajarkan, adab di atas ilmu, itu tidak diajarkan di kampus-kampus lain, di Universitas Brawijaya tidak mungkin ngomong adab itu," jelasnya.
Bahkan nilai, adab, dan etika, saat ini tengah digaungkan dalam pendidikan di luar negeri dan sistem industri. Cak Udin sapaan akrabnya pernah punya pengalaman ketika mengunjungi Oxford University di Inggris, yang mengedepankan pendidikan berkarakter. Sedangkan mengantarkan para santri belajar ke perusahaan - perusahaan Jepang dn Korea Selatan di Karawang, Jawa Barat, justru memprioritaskan etika dan integritas, daripada penguasaan teknologinya.
"Di London saya perhatikan itu etika, ini adab, adab kan etika di pesantrenya. Bahkan di industri ketika diterima perusahaan pasca kuliah, itu bukan kamu bisa apa, tapi bagaimana akhlak, profesionalitas, akuntabilitas, integritas, itu hubungannya dengan etik, tidak berhubungan dengan kemampuan - kemampuan yang kata orang skill," paparnya.
"Jalau tidak punya teknologi, yang pertama dipelajari etika, akhlak Bahasa pesantren, nomor dua akhlak, nomor tiga akhlak, baru terakhir skill. Apa gunanya dia pintar, kalau dia tidak punya adab, anak pintar, tapi tidak punya profesionalitas, tidak punya nilai yang baik," tukasnya. (*)