Dewasa ini, hampir seluruh aspek kehidupan manusia telah memiliki sentuhan teknologi yang disebut juga dengan proses digitalisasi. Hal ini dikarenakan pemakaian sistem digital dapat meningkatkan efisiensi suatu proses, seperti waktu yang lebih cepat dan tenaga yang lebih sedikit.
Konsep yang sama pun diterapkan dalam sistem perpajakan di Indonesia. Sejak tahun 2005, Indonesia telah menunjukkan komitmen menuju modernisasi sistem administrasi perpajakan melalui peluncuran sistem E-filling.
Hal tersebut disusul dengan pengenalan DJP Online pada tahun 2012, e-billing pada tahun 2013, e-form pada tahun 2016, M pajak pada tahun 2021, dan integrasi NIK menjadi NPWP pada tahun 2024.
Lebih lanjut, sejak awal tahun 2025 Direktorat Jenderal Pajak telah meluncurkan sistem Coretax yang dicanangkan akan menghadirkan kemudahan dalam pelaporan pajak dan mengintegrasikan sistem perpajakan dan kepabeanan yang akan menekan redundansi administrasi.
Dalam salah satu artikel yang tayang pada laman Direktorat Jenderal Pajak dikatakan bahwa perubahan sering terasa sulit di awal, rumit di perjalanannya, tetapi akan indah pada akhirnya akhirnya bila dapat disikapi dengan tepat. Akan tetapi, rasanya peluncuran Coretax pada 1 Januari 2025 terlampau sulit dan terkesan “dipaksakan”.
Pengamat kebijakan menilai implementasi Coretax dilakukan secara terburu-buru. Semestinya, tahapan implementasi e-government dimulai dengan persiapan dan pengembangan bertahap melalui pilot testing pada skala terbatas. Namun, penerapan Coretax justru dilakukan serentak secara nasional pada 1 Januari 2025.
Alhasil, banyak masyarakat yang mengalami kendala dalam menggunakan Coretax seperti sistem yang error, beberapa fungsi yang tidak bisa digunakan, hingga sistem yang mengatakan terdapat mengatakan kesalahan dalam pengisian data tanpa memberitahu kesalahan yang dimaksud.
Menyikapi hal itu, rasanya Coretax menjadi hot topik sejak peluncurannya hingga bulan April lalu bertepatan batas pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Badan. Banyak dari Wajib Pajak yang juga mengeluhkan merindukan sistem lama yang lebih stabil dan jelas.
Namun, untuk bersikap adil, perlu untuk melihat dari perspektif DJP. Coretax sendiri merupakan rencana jangka panjang yang sudah disiapkan sejak 2018, dilatarbelakangi ketidakmampuan sistem informasi yang dimiliki DJP pada saat itu untuk menangani data dalam volume besar. Sistem yang terpisah-pisah juga sudah tidak efisien untuk digunakan.
Selain itu, melihat lanskap ekonomi digital yang bertumbuh semakin cepat, terdapat pula kebutuhan akan sistem yang mampu menjalankan proses yang kompleks dengan lebih cepat dan otomatis. Sistem lama tidak lagi memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut sehingga dibutuhkan langkah strategis untuk mereformasi administrasi pajak secara fundamental.
Bagi DJP, Coretax bukanlah hanya sekadar ambisi kosong, Coretax adalah sebuah keniscayaan dan kebutuhan. Implementasinya tidak dapat menunggu sampai semua pihak merasa benar-benar siap.
Meskipun urgensinya jelas, tantangan teknis tidak bisa diabaikan. Keandalan infrastruktur teknologi menjadi taruhan utama, mengingat tak jarang layanan digital pemerintah down saat digunakan bersamaan. Sentralisasi data dalam Coretax juga membawa isu krusial mengenai keamanan siber dan perlindungan data pribadi Wajib Pajak.
Selain itu, kesiapan sumber daya manusia di internal otoritas pajak juga menjadi faktor penentu. Fiskus dituntut untuk memiliki kompetensi teknis yang mumpuni agar dapat memberikan asistensi yang tepat. Jangan sampai kesenjangan pemahaman terjadi di dua sisi meja: Wajib Pajak bingung melapor, dan petugas belum siap membimbing.
Pada akhirnya, setiap perubahan besar selalu memunculkan dua sudut pandang. Dari mata DJP, Coretax adalah langkah penting menuju administrasi pajak modern yang lebih efisien dan transparan. Dari mata wajib pajak, Coretax adalah perubahan besar yang datang mendadak, belum mulus, dan kadang terasa dipaksakan.
Pertanyaannya sekarang: apakah Coretax benar-benar digitalisasi yang dipaksakan, ataukah ini hanyalah fase awal dari transformasi besar yang memang harus dimulai, meski tidak semua merasa siap?
Jawabannya mungkin tergantung dari sisi mana melihatnya. Namun satu hal yang pasti: teknologi tidak bisa berhenti bergerak, dan keberhasilan reformasi ini akan sangat ditentukan oleh bagaimana DJP dan masyarakat berjalan bersama, bukan saling tertinggal atau dipaksa berlari.
*) Pablo Dwipa Ananta Siregar dan. Einken Hezekiel Simaremare merupakan mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
