Ketahanan Mental Remaja: Fondasi Pertahanan Negara yang Harus Dipulihkan

28 November 2025 07:00 28 Nov 2025 07:00

Thumbnail Ketahanan Mental Remaja: Fondasi Pertahanan Negara yang Harus Dipulihkan
Oleh: Ahmad Afskar*

Di Indonesia hari ini, kita sering berbicara tentang pertahanan negara dalam konteks pembangunan alutsista, modernisasi teknologi militer, atau penguatan strategi keamanan nasional. Namun ada satu aspek yang justru paling mendasar dan sering luput dari perhatian: ketahanan mental remaja. 

Di balik wajah-wajah muda itu, tersimpan tantangan yang lebih kompleks dari sekadar tekanan akademik atau persaingan media sosial. Tantangan itu perlahan menggerus kualitas generasi yang seharusnya menjadi pilar masa depan bangsa.

Fenomena ini sebenarnya sudah kita lihat setiap hari. Kasus perundungan meningkat, baik di sekolah maupun dunia maya. Tekanan akademik kian berat, sementara standar sosial semakin tidak realistis. Media sosial mempengaruhi cara remaja menilai diri mereka sendiri, sering kali lebih keras daripada penilaian siapapun di dunia nyata. 

Tidak sedikit remaja yang kini tumbuh dalam rasa cemas, merasa tidak berharga, atau terjebak dalam perbandingan yang menyakitkan. Di tengah tekanan itu semua, mereka harus menjalani masa pencarian jati diri yang tidak mudah.

Ironisnya, sebagian orang dewasa masih memandang masalah kesehatan mental sebagai sesuatu yang sepele, bahkan tabu untuk dibicarakan. Remaja yang mengeluh tentang stres atau kecemasan dianggap manja. Mereka yang mencari bantuan dianggap lemah. 

Padahal, inilah cara kita gagal mendengarkan kebutuhan generasi muda. Kita lupa bahwa mereka lahir dan tumbuh dalam era digital yang jauh lebih cepat, lebih bising, dan lebih penuh tekanan dibandingkan generasi sebelumnya.

Jika kita ingin berbicara tentang ketahanan negara, maka kita tidak bisa hanya fokus pada senjata atau infrastruktur. Ketahanan mental adalah bagian dari pertahanan nasional. Negara hanya bisa berdiri kuat jika masyarakatnya kuat—terutama generasi mudanya.

Remaja yang rapuh secara mental akan tumbuh menjadi dewasa yang rapuh pula. Mereka sulit mengambil keputusan rasional, mudah terprovokasi, rentan terhadap manipulasi informasi, dan tidak siap menghadapi tekanan hidup maupun tekanan geopolitik.

Sebaliknya, remaja yang kuat secara mental adalah aset paling strategis bagi bangsa. Mereka lebih kreatif, lebih tahan banting, lebih kritis, dan lebih mudah beradaptasi dengan perubahan. Mereka mampu bertahan dalam situasi sulit tanpa kehilangan arah. 

Dalam konteks pertahanan negara, remaja seperti ini adalah calon prajurit yang tangguh, calon pemimpin yang berani mengambil keputusan, dan calon warga negara yang memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawabnya.

Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa remaja Indonesia masih menghadapi banyak hambatan dalam membangun ketahanan mental. Lingkungan keluarga sering kali tidak menjadi tempat yang hangat untuk bercerita. 

Tekanan akademik yang berlebihan membuat anak merasa nilainya hanya ditentukan oleh ranking. Perundungan menjadi budaya yang dinormalisasi. Media sosial menjadi arena pertarungan citra yang melelahkan. Sementara akses terhadap konselor atau psikolog masih sangat terbatas.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka kita sebenarnya sedang membiarkan generasi emas Indonesia tumbuh dengan fondasi yang rapuh. Ini bukan sekadar persoalan kesehatan mental—melainkan persoalan masa depan negara.

Karena itu, membangun ketahanan mental remaja harus menjadi agenda nasional. Pendidikan kesehatan mental perlu dijadikan bagian dari kurikulum, bukan hanya sebagai penyuluhan sesekali, tetapi sebagai materi yang dipelajari secara terstruktur. Sekolah harus memiliki konselor profesional yang benar-benar mampu mendampingi siswa, bukan hanya mengurus administrasi atau bimbingan karier.

Lingkungan sekolah dan keluarga harus menjadi ruang aman bagi remaja untuk mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi. Sistem anti-bullying harus berjalan dengan tegas. Literasi digital harus dikuatkan agar remaja mampu bersikap kritis terhadap tekanan dan manipulasi media sosial. 

Pemerintah, organisasi masyarakat, kampus, komunitas, hingga tokoh-tokoh publik harus ikut terlibat dalam mempromosikan pentingnya kesehatan mental sebagai bagian dari ketahanan bangsa.

Di tengah perubahan global yang semakin tidak terduga, bangsa ini membutuhkan sumber daya manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga tangguh secara mental. Karena itu, sudah saatnya kita mengubah cara pandang. 

Remaja bukan hanya objek pembangunan, tetapi fondasi utama pertahanan negara. Mereka bukan sekadar penerus bangsa—mereka adalah benteng psikologis yang akan menentukan kekuatan Indonesia di masa depan.

Jika kita benar-benar ingin melihat Indonesia menjadi negara yang kuat, maka langkah pertama yang harus kita lakukan adalah memulihkan ketahanan mental remaja. Sebab dari sanalah kekuatan sebuah bangsa bermula: dari jiwa-jiwa muda yang kokoh, percaya diri, berdaya, dan siap menghadapi dunia dengan kepala tegak.

*) Ahmad Afskar N. A merupakan Recruitment Officer PT Permata Indonesia

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Ahmad Afskar kesehatan mental