Bangsanya Kaum Muda?

27 Oktober 2025 08:40 27 Okt 2025 08:40

Thumbnail Bangsanya Kaum Muda?
Oleh: Nurani Soyomukti*

Peran kaum muda dalam sejarah berdirinya bangsa Indonesia tak bisa disangkal. Terbukti dalam fakta sejarah bahwa anak-anak mudalah yang menjadi motor penggerak terjadinya kelahiran Negara-bangsa (‘nation-state’) yang kemudian bernama Indonesia: Sebuah Negara kesatuan yang berbentuk Republik, di mana kedaulatan ada di tangan rakyat—sebagaimana tertera dalam bagian awal UUD 1945.

Dalam sejarah pergerakan, para aktivis organisasi yang menyerukan kritik dan perlawanan terhadap penjajah adalah anak-anak muda. Organisasi yang tanggal berdirinya (20 Mei 1908) dianggap sebagai tonggak kebangkitan nasional dan diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, Boedi Oetomo (BO), didirikan oleh anak-anak muda. Organisasi ini didirikan oleh Dr. Soetomo yang usianya 20 tahun, Goenawan Mangoenkoesoemo yang usianya juga 20 tahun, dan Soeradji Tirtonegoro yang usianya 19 tahun.

Organisasi seperti Indische Partij (IP) yang  lumayan progresif dibanding BO, juga didirikan oleh anak-anak muda. Ada Tjipto Mangoenkoesoemo yang berumur 26 tahun, Ki Hadjar Dewantoro yang  berumur 23 tahun, dan Douwes Dekker yang usianya paling tua di antara tiga serangkai ini, yaitu berumur 33 tahun. Mereka bukan hanya mengritik pemerintahan colonial. Mereka juga bicara feodalisme tanah di masyarakatnya sendiri, budaya Jawa, juga menyebarkan ide-ide kesetaraan dan keadilan. 

Yang menurut saya paling punya daya dobrak yang kuat bagi kesadaran nasional yang bersifat progresif adalah Sarekat Islam (SI). Organisasi ini  punya perkembangan yang pesat dati sisi jumlah anggota, dan sifatnya  kerakyatan—terutama setelah ide-ide revolusioner masuk di dalamnya. Pemimpin awal organisasi ini adalah HOS Cokroaminoto yang saat ia mendirikan dan menjadi ketua SI pada tahun 1906 umurnya 24 tahun. 

SI kemudian diisi oleh anak-anak muda yang progresif yang membuat organisasi ini semakin menjadi motor penggugah kesadaran akan pentingnya melawan penjajahan Belanda. Salah satu tokoh muda yang paling legendaris adalah murid Pak Cokro yang bernama Semaoen. Bayangkan, pada saat usianya masih 18 tahun, setelah ia hijrah dari Surabaya ke Semarang, ia menjadi ketua SI cabang Semarang. Dibanding para pimpinan organisasi-organisasi yang ada yang rata-rata adalah anak kaum bangsawan, Semaoen adalah pimpinan organisasi massa yang berlatarbelakang keluarga miskin. Ia adalah anak seorang bapak yang kerja sebagai tukang batu di jawatan kereta api.

Sejak umur 14 tahun ia sudah menjadi aktivis pergerakan sebagai aktivis SI cabang Surabaya. Setahun setelahnya ia mulai mendapatkan pandangan pergerakan progresif-revolusioner yang membuatnya menjadi mahir berorganisasi dan berbicara di hadapan publik, juga menjadi penulis. Sejak pindah di Semarang, di usianya yang belia, ia berhasil membuat SI menjadi alat perlawanan kaum rakyat miskin melawan kebijakan penjajah Belanda. Namanya kemudian tak bisa dilepaskan dari kelahiran partai komunis yang merupakan partai politik pertama yang melakukan pemberontakan terhadap penjajah Belanda, yaitu pada tahun 1926/1927. 

Meskipun pemberontakan itu gagal, riwayat perlawanan radikal akan menginspirasi spirit melawan penjajah di tahun-tahun setelahnya. Sambung-menyambungnya perlawanan dari kaum muda, tak lepas dari peran-peran mereka dalam menjadikan narasi perlawanan lewat tulisan dan jejaring organisasi. Organisasi satu mempengaruhi tumbuhnya organisasi lain, yang juga disemarakkan oleh terbitan-terbitan yang menjadi tempat bagi para aktivis muda mencurahkan pikiran-pikirannya tentang kondisi masyarakatnya yang dijajah—juga jadi alat “propaganda” melawan kebijakan penjajah dan mendidik rakyat.

Organisasi lainnya seperti PNI yang lahir pada tahun 1927 memunculkan nama Soekarno, yang mendirikan organisasi nasionalis itu pada saat usianya 26 tahun. Tokoh ini tentu tak asing lagi bagi rakyat Indonesia karena dialah yang akhirnya berhasil menjadi orang nomor satu, presiden pertama RI yang namanya tak lekang oleh jaman. 

Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada tanggal 29 Oktober 1928 tak bisa tidak merupakan peristiwa sejarah yang penting karena anak-anak muda dari berbagai latarbelakang suku bangsa dan dari berbagai organisasi berkumpul untuk menyerukan sumpah tentang tanah air, bangsa dan bahasa yang satu—yang kelak  dinamakan Indonesia.

Ketika Indonesia merdeka, ternyata anak-anak mudalah yang mengisi posisi-posisi kepemimpinan di pemerintahan. Soekarno-Hatta usianya belum 45 tahun. Para menteri mayoritas juga anak-anak muda. Ada Wahid Hasyi, bapaknya Gus Dur (presiden RI ke-4), yang usianya masih 31 tahun menjadi Menteri Negara urusan Agama. Ada nama Supriyadi di atas kertas yang bahkan usianya masih 22 tahun. Bahkan ada nama Sutan Syahrir yang saat menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan, sebagai Perdana Menteri,  yang usianya 37 tahun. Tentu situasi di mana Negara diisi anak-anak muda berusia ratarata 30-an tahun itu tidak terjadi di masa sekarang, yang rata-rata para pimpinan Negara usianya 50-an dan 60-an tahun.

 

Generasi "Indonesia Cemas"

Menurunnya peran kaum muda secara drastis dalam sektor politik dan pemerintahan terjadi sejak Orde Baru memasukkan para mantan  aktivis muda ke kekuasaan. Para aktivis organisasi kaum muda yang ikut andil menggulingkan presiden Soekarno menjadi bagian penting dari pemerintahan baru (Orde Baru) yang konsertatif, pro-modal asing, dan juga anti-demokrasi. Dilakukannya depolitisasi terhadap rakyat bisa diartikan melakukan hegemoni terhadap kaum muda. Nalar kritis dan berlawan yang menjamur di masa-masa sebelumnya secara berangsur-angsur hilang.

Itulah yang terjadi  hingga sekarang.  Apolitisnya anak-anak muda semakin menjadi-jadi. Mereka terhegemoni oleh kapitalisme yang hanya menjadikan anak muda sebagai konsumen dan sasaran pemasaran produk-produk ekonomi dan kebudayaan. Mendesain anak-anak muda sebagai pengonsumsi, dengan demikian, seiring dengan kuatnya upaya membuat anak-anak muda tidak produktif-kreatif, membuat mereka punya intelektualitas yang memungkinkan berpikir analitis, rasional dan kritis. 

Jumlah kaum muda usia produktif yang tidak produktif justru kian membludak. Mereka juga  mudah diarahkan  algoritma oleh  kekuatan yang menginginkannya agar tidak menganggu stabilitas kekuasaan dan yang menyingkirkan tradisi berliterasi. Inilah yang akan menjadikan kaum muda yang seharusnya menjadi kekuatan menyongsong Indonesia Emas justru membuat kita cemas. 

Krisis ekonomi-politik global dan nasional yang terus berlangsung merupakan tantangan bagi kaum muda saat ini. Inilah dinamika masyarakat yang harus dihadapi, yang harus diatasi dengan sikap yang dilandasi  upaya membangun kembali posisi dan peran kaum muda berbasis pada kesadaran dan pikiran kritis, serta kreativitas untuk memacu kekuatan produktif (‘productive force’). Hanya kekuatan kerja, ilmu pengetahuan dan teknologi lah yang menjadi basis kemajuan. Jika tidak punya produktivitas (kemampuan menghasilkan dan daya cipta), maka tak akan bisa mengadakan sesuatu untuk memenuhi dirinya. Jika tidak bisa memenuhi dirinya, maka akan terjadi ketergantungan dan kehilangan kedaulatan.

Jika tergantung pada  produk dan karya bangsa lain, maka kita akan terus mengonsumsi dan membeli—memperkaya bangsa asing dan memiskinkan bangsa kita sendiri. Selama ini, bahan mentah dari bumi kita diambil bangsa lain, lalu diubah jadi barang yang lebih punya nilai jual, dan kita membeli barang-barang itu. Kita membeli barang-barang dari luar yang bahannya dari kita. 

Bahan baku dan kekayaan alam yang ada tidak dapat diolah dan dikelola hanya karena kita tidak punya modal yang cukup, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara anak-anak muda kita berada dalam situasi kecerdasan intelektual rendah, kondisi emosional dan mentalitas terjajah oleh doktrin-doktrin irasionalitas dan fatalisme (dalam berpikir dan bersikap).

 

Membangun Gerakan Kaum Muda

Di tengah situasi deproduksi, fatalisme dan apatisme yang menghinggapi kaum muda, perlu untuk menjadikan kaum muda sebagai pijakan mengambil  kebijakan di berbagai bidang. Di bidang ekonomi, perlu menghimpun modal yang ada untuk  meningkatkan SDM kaum muda dan mencegah terjadinya dampak-dampak buruk dinamika sosial bagi kalangan kaum muda. 

Cara berpikir fatalis yang ada perlu dihancurkan. Tafsir agama progresif perlu dilembagakan. Selama ini kaum muda sering dicekoki budaya feodal dari doktrin agama. Kepercayaan yang berlebihan pada mistik sebagai solusi masalah keseharian, pikiran irasional (tidak masuk akal) dalam memahami dan menyikapi sesuatu adalah penyakit yang mesti disembuhkan. Menjadikan agama dan budaya sebagai sarana untuk pencerahan dan membantu memupuk potensi berpikir yang mencerahkan merupakan suatu agenda penting.

Memberi mereka  pendidikan yang mudah diakses dan memberikan ilmu pengetahuan yang ilmiah adalah keharusan. Juga penting untuk mendorong mereka meningkatkan kecakapan dalam bentuk pelatihan dan bimbingan, yang disokong oleh pemberian akses terhadap modal. Arahkan mereka untuk  berpartisipasi dengan kesadaran yang tinggi di berbagai bidang. Arahkan mereka untuk mau dan mampu bersuara kritis terhadap kekuasaan yang menyimpang karena hal itu akan menjadi kekuatan control agar kekuasaan tidak korup dan menyimpang.

Mengontrol kekuasaan agar tidak digunakan untuk kepentingan elit-elit yang berkuasa dan menuntut mereka yang memegang kebijakan serius mengelola Negara jelas merupakan tugas anak muda dan mereka memang harus dibiarkan melakukan hal itu. Jangan sampai suara-suara kritis dibungkam. Jangan sampai anak muda dibiasakan dengan budaya tunduk-patuh yang membuat mereka terbiasa bungkam. Sebab bungkamnya kaum muda terhadap situasi yang tidak baik-baik saja adalah tanda runtuhnya peradaban suatu bangsa! (*)

*) Nurani Soyomukti adalah Pendiri Institute Demokrasi dan Keberdesaan (INDEK), saat ini sedang nyantri di Pasca-Sarjana Akidah Filsafat Islam UIN Satu Tulungagung.

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

Bangsanya kuam Muda Kaum muda Artikel opini opini Nurani Soyomukti