KETIK, SURABAYA – Avatar dikenal sebagai film terlaris sepanjang masa selama lebih dari satu dekade. Pencapaian tersebut tak lepas dari visualnya yang megah serta dunia Pandora yang digambarkan begitu indah dan imersif.
Namun di balik itu, terdapat pesan sederhana yang konsisten hadir di setiap filmnya, yakni tentang keserakahan manusia. Sejak film pertama, konflik ini selalu menjadi benang merah dalam cerita Avatar.
Pandora digambarkan sebagai alam yang kaya dan saling terhubung satu sama lain. Sebaliknya, bagi manusia, Pandora hanyalah tempat untuk mengambil sumber daya. Perbedaan cara memandang alam antara bangsa Na’vi dan manusia inilah yang menjadi awal dari konflik utama.
Dalam film pertama, Avatar (2009), manusia digambarkan memiliki ambisi besar untuk mengeksploitasi Pandora dan mengambil sumber daya sebanyak-banyaknya dengan dukungan teknologi canggih. Adegan perusakan Hometree menjadi simbol bagaimana alam dan penduduk asli harus menjadi korban demi keuntungan.
Konflik tersebut berlanjut dalam film kedua, Avatar: The Way of Water (2022). Polanya tetap sama, hanya saja latarnya berpindah ke wilayah laut. Eksploitasi masih terjadi meski bentuk dan targetnya berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa masalah utama bukan terletak pada lokasi, melainkan pada mentalitas manusia.
Dengan demikian, musuh terbesar dalam film Avatar bukanlah makhluk atau dunia asing, melainkan manusia itu sendiri. Keinginan untuk menguasai dan mengambil lebih banyak selalu menjadi sumber konflik dalam seri film ini.
Isu eksploitasi alam disebut masih akan menjadi benang merah dalam kelanjutan kisahnya, termasuk pada film ketiga, Avatar: Fire and Ash (2025).
Avatar pun lebih dari sekadar film petualangan fantasi. Film ini mengangkat dampak eksploitasi berlebihan yang juga terjadi di dunia nyata. Avatar tetap relevan karena mengingatkan kembali hubungan manusia dengan alam, dengan pesan yang disampaikan melalui cerita, bukan ceramah. (*)
