KETIK, JAKARTA – Di tengah upaya pemulihan pascabanjir besar yang melanda sebagian wilayah Aceh, stabilitas keamanan menjadi fondasi utama bagi kelancaran distribusi bantuan kemanusiaan.
Momentum ini menuntut kedewasaan semua pihak untuk memisahkan dinamika aspirasi dari urgensi penanganan darurat yang menyangkut keselamatan ratusan ribu pengungsi di tenda-tenda sementara.
Peristiwa ketegangan fisik yang sempat terjadi pada Kamis 25, Desember 2025 di depan Kantor Bupati Aceh Utara dan kawasan Krueng Mane, Lhokseumawe dipicu oleh gesekan komunikasi antara aparat keamanan dan warga pembawa bantuan yang mengibarkan simbol daerah.
Meski memicu riak di media sosial, fakta di lapangan menunjukkan bahwa niat dasar masyarakat adalah menyalurkan logistik bagi warga Aceh Tamiang yang masih berjuang menghadapi dampak sisa banjir.
Berdasarkan laporan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) per Jumat, 26 Desember 2025 tercatat lebih dari 11.160 pengungsi mengalami gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan penyakit kulit.
Kondisi ini diperberat oleh rusaknya 13 ruas jalan nasional yang menghambat distribusi bantuan, sehingga harmoni antara aparat keamanan dan elemen sipil menjadi prasyarat mutlak agar logistik tidak terhenti di tengah jalan.
Aktivis Aceh Wanda Assyura. (Foto: Zaid Kilwo/Ketik.com)
Menanggapi situasi tersebut aktivis Aceh Wanda Assyura menekankan pentingnya kejernihan hati dalam bertindak demi keselamatan bersama. Ia mengingatkan bahwa di tengah perbedaan simbol dan identitas, kemanusiaan harus ditempatkan sebagai prioritas utama.
“Kita memahami simbol memiliki akar sejarah yang dalam, namun saat ini ada 385 nyawa saudara kita yang telah hilang akibat bencana. Jangan biarkan kesalahpahaman di lapangan memicu emosi yang justru merugikan mereka yang sangat membutuhkan bantuan,” ujarnya, Jumat, 26 Desember 2025.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, sebelumnya juga menegaskan bahwa fokus utama saat ini adalah penyelamatan warga dalam bingkai NKRI. Sinergi antara TNI, Polri, dan relawan sipil menjadi energi terbesar Aceh dalam menghadapi bencana.
Energi ini, menurut Wanda, perlu dijaga agar tidak terpecah oleh gesekan fisik yang sejatinya dapat dihindari melalui dialog.
Terkait kehadiran aparat di sejumlah titik strategis Jalan Lintas Nasional, Wanda mengimbau agar baik warga maupun petugas tetap menahan diri dan tidak terpancing provokasi.
“Kepada aparat di lapangan, mohon kedepankan pendekatan persuasif dan humanis. Kepada warga, mari kita hargai prosedur keamanan demi ketertiban publik. Kedamaian yang telah kita rawat selama dua dekade adalah aset yang terlalu mahal untuk dikorbankan,” tegasnya.
Apresiasi juga disampaikan kepada para jurnalis yang tetap bertugas di tengah situasi sulit untuk menyampaikan informasi yang akurat.
Terkait insiden komunikasi dengan awak media, diharapkan dapat diselesaikan secara institusional dengan semangat saling menghormati menghormati profesi, transparansi informasi dinilai penting untuk meredam simpang siur narasi di tingkat akar rumput.
Sikap untuk tetap tenang di tengah krisis, lanjut Wanda, bukan berarti mengabaikan realitas penderitaan warga. Anak-anak di pengungsian Aceh Tamiang saat ini tidak mempersoalkan perbedaan pandangan, mereka hanya menanti bantuan air bersih dan pangan.
Dengan mengedepankan dialog dan kearifan lokal, Aceh menunjukkan bahwa solidaritas kemanusiaan adalah identitas sejatinya.
Menutup keterangannya, Wanda Assyura mengajak seluruh rakyat Aceh untuk tetap kokoh dalam persaudaraan dan tidak mudah terprovokasi.
“Mari kita tutup hari ini dengan doa dan aksi nyata. Fokus kita satu: rakyat harus selamat, Aceh harus bangkit, dan kedamaian harus tetap tegak berdiri. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi langkah kita semua,” pungkasnya.(*)
