KETIK, PROBOLINGGO – Suasana JL. Suroyo, Kota Probolinggo, mendadak riuh pada Senin 20 Oktober 2025 siang. Ratusan santri dan kiai dari berbagai pesantren di kota setempat mendatangi kantor DPRD. Mereka menuntut Trans7 meminta maaf atas tayangan “Xpose Uncensored” yang dianggap merendahkan pesantren dan ulama.
Aksi dimulai dari halaman Museum Kota Probolinggo. Massa berjalan kaki menuju gedung DPRD sambil bershalawat dan meneriakkan takbir. Sepanjang perjalanan, mereka membawa poster bertuliskan “Boikot Trans7”, “Kami Cinta Pesantren”, dan “Derek Kyai Sampai Mati”.
Ketua GP Ansor Kota Probolinggo Salamul Huda memimpin langsung jalannya aksi. “Santri tidak anti kritik, tetapi menolak segala bentuk pelecehan terhadap pesantren yang merupakan benteng moral umat,” cetus Salam, dalam orasinya.
Aksi dimulai dari Museum Kota Probolinggo. Massa berjalan kaki menuju kantor DPRD sambil bershalawat. Sesampainya di depan kantor DPRD, orasi demi orasi bergantian disampaikan para tokoh NU. Ketua PCNU Kota Probolinggo KH. Arbain Hasan membacakan enam tuntutan.
Di antaranya meminta Trans7 mengumumkan permintaan maaf secara terbuka. Membuka identitas tim produksi acara tersebut, dan mengganti program itu dengan tayangan yang mengedukasi masyarakat tentang pesantren.
“Pesantren bukan tempat ekstrem. Pesantren adalah pusat lahirnya ulama yang menjaga NKRI,” tegas KH. Arbain.
Tak hanya itu, dia juga meminta DPRD Kota Probolinggo meneruskan tuntutan tersebut ke DPR RI dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Berharap pengawasan terhadap media televisi diperketat.
Aksi itu dihadiri berbagai tokoh daerah, di antaranya Wakil Ketua DPRD, Santi Wilujeng Prastyani. Lalu, Kapolres Probolinggo Kota AKBP Rico Yumasri. Tak ketinggalan, Ketua MUI Kota Probolinggo Prof. KH. Muhammad Sulthon, serta sejumlah pimpinan ormas dan pesantren.
Selama dua jam lebih, aksi berjalan tertib dan dikawal aparat kepolisian. Tidak ada kericuhan. Massa bubar dengan damai sambil melantunkan shalawat.
Seperti diketahui, tayangan program “Xpose Uncensored” di Trans7 dianggap melecehkan pesantren dan mencemarkan nama baik para kiai.
Masyarakat Muslim, juga menilai cuplikan visual dianggap menampilkan santri dengan narasi negatif. Seolah pesantren menjadi tempat penyebaran paham radikal. Konten inilah yang memicu kemarahan umat. (*)